Mengetahui bagaimana saat ini perkembangan strategi dan
khususnya perkembangan kekuatan militer menjadi suatu hal yang penting bagi
para ahli strategi. Jika menilik ke belakang terlebih dahulu, bagaimana munculnya
RMAs (Revolution in Military Affairs) pada peralatan ataupun instrumen-instrumen
yang ada pada militer memberikan gambaran yang cukup besar terkait dengan
postur dunia militer sekarang. Muncul ranah-ranah baru di militer yang tidak
hanya sebatas landpower dan seapower, namun juga meluas hingga airpower, spacepower bahkan cyberpower. Tidak hanya berhenti di situ
saja, revolusi yang terjadi juga menciptakan peralatan-peralatan baru nan
canggih guna menunjang performa militer yang ada. Untuk mengkajinya lebih dalam
dan guna memberikan ulasan yang lebih jelas, penulis akan memaparkan bagaiamana
perkembangan senjata nuklir pada dunia militer saat ini. Senjata nuklir dipilih
untuk dikaji mengingat bagaimana signifikansi yang dimiliki oleh senjata ini
dan dapat dikatakan senjata ini sebagai salah satu indikator yang cocok untuk
menilai sejauh mana perkembangan revolusi di militer serta bagaimana kemunculan
senjata nuklir ini mampu mengubah teori dan praktik strategi (Mahnken & Maiolo,
2008:181). Menimbang hal tersebut, maka pertanyaan yang patut untuk dilontarkan
adalah bagaimana keadaan strategi pasca perkembangan teknologi nuklir? Jika
boleh dikatakan senjata nuklir mengubah strategi, lantas apa saja yang berubah
dari strategi? Adakah sebenarnya strategi nuklir itu? Penulis akan memaparkan
lebih jauh mengenai hal tersebut.
Klein (1994)
dalam awal tulisannya yang berjudul ‘What
Nuclear Revolution?’ menjelaskan
mengenai kaitannya negara dengan struktur kemiliteran. Membawa asumsi dari Otto
Hintze, seorang sejarawan hebat Jerman dan Machiavelli. Bahwa menurut Otto
Hintze (1906, dalam Klein, 1994:41) negara modern memiliki asal di kebutuhan
masyarakat untuk membatasi dan mengamankan ruang politik yang layak secara
ekonomis “All state organization was
originally military organization, organization for war”. Sehingga hal ini
menandakan bahwa “to study the state was
to study its military structure” bentuk dan semangat organisasi negara
tidak akan ditentukan semata-mata oleh hubungan ekonomi dan sosial dan
bentrokan kepentingan, tetapi juga oleh kebutuhan pertahanan dan pelanggaran,
yaitu, dengan organisasi tentara dan peperangan (Hintze, 1906 dalam Klein,
1994:41). Mundur sedikit ke belakang, bagaimana Bradley S. Klein (1994) menjelaskan
bahwa karya Machiavelli yaitu ‘The Prince’
menampilkan ambiguitas tentang penggunaan dan kepantasan kekerasan dalam
mendirikan dan mempertahankan negara. Ambiguitas ini tercermin pada Machiavelli
yang tidak memiliki keraguan bahwa kerajaan atau republik yang dikelola dengan baik harus didirikan oleh
penggunaan kekuatan, namun Machiavelli juga berulang kali menekankan bahwa
tanpa hukum yang baik dan lembaga yang dihormati, ‘lengan’ yang memadai dan
pemimpin yang tegas tidak akan ada
hasilnya (Klein, 1994:44). Machievalli mengenalkan istilah Fortuna yang merujuk pada musuh tatanan politik, ancaman utama
untuk keselamatan dan keamanan negara. Sehingga Machiavelli melihat strategi
sebagai praktik secara esensial dan politis, dan sebagai bagian dari upaya-upaya
dari para pangeran atau prince untuk menjinakkan
perubahan-perubahan fortuna melalui
penyebaran cerdik kekuatan dan kekerasan publik (Klein, 1994:45). Ini
menandakan perlu adanya strategi melalui kekuatan untuk melawan ancamanan
negara, hal ini sudah dituliskan pada era Machiavelli. Strategi digunakan
sebagai menjaga keamanan negara, bagaiamana negara mampu menjaga keamanan dan
mendeteksi ancaman-ancaman yang ada.
Secara bertahap
senjata-senjata yang dimiliki oleh negara berkembang, sama halnya dengan
ukuran-ukuran dari tentaranya. Perang semakin menjadi masalah mobilisasi
nasional dan usaha profesional. Begitu senjata nuklir, senjata nuklir mulai
mengalami revolusi dan perkembangan sejak tahun 1945 yang ditandai dengan
perkembangan bom atomik (Gray, 2007:209). Tahap selanjutnya terjadi pada tahun
1952 dan 1953 yaitu perkembangan bom hidrogen.
Pada tahap ini, terjadi perubahan secara radikal pada konteks strategis,
dari senjata atom yang berkisar dalam puluhan kiloton ke bom hidrogen yang
berkisar hingga megaton (Gray, 2007:210). Lebih lanjut, Era nuklir telah terwujud
dalam dua ‘era’ yang khas sampai saat ini, era tersebut dibedakan oleh struktur
politik, bukan oleh teknologi senjata. Dalam bentuk ringkasan, era nuklir
pertama meliputi tahun 1945-1989, sementara era nuklir yang kedua adalah
periode pasca-Perang Dingin sampai saat ini (Gray, 1999:323). Lantas, adakah
nilai strategis dari senjata nuklir ini? Collin S. Gray (2007) menyebutkan
bahwa senjata nuklir ini tampaknya mematahkan hubungan antara means dan ends yang merupakan esensi penting dari strategi itu sendiri.
Karena senjata ini terlalu kuat dan terlalu merusak jika digunakan untuk melayani
setiap tujuan politik. Gray (2007) menambahkan bahwa negara bersenjata nuklir
dapat mengalahkan musuh tanpa terlebih dahulu mengalahkan angkatan bersenjata, namun
apabila musuh juga bersenjata nuklir maka dapat dipastikan kasil akhirnya akan
menjadi kekalahan kedua belah pihak.
Senjata nuklir
telah mengubah studi strategi yang awalnya memenangkan perang, menjadi mencegah
perang. Seperti yang dituturkan Bernard Brodie (dalam Mahnken & Maiolo,
2008:181), bahwa senjata nuklir mengarah pada kondisi saling mencegah atau mutual deterrence. “thus far the chief purpose of our military establishment has been to win
wars. From now on its chief purpose must be to avert them” (Brodie, dalam
Mahnken & Maiolo, 2008:181). Lebih lanjut, menurut Elinor C. Sloan (2012)
perkembangan nuklir juga menambahkan ranah baru pada penggunaan power di militer. Tidak seperti seapower, landpower, airpower, dan
bahkan cyberwar, di mana dapat
terlihat the actual conduct of war.
Di ranah tenaga nuklir, beroperasi sepenuhnya secara abstrak, hanya pada lingkup
teoritis (Sloan, 2012:100). Lawrence Freedman (1986, dalam Sloan, 2012:100)
menyebutkan para ahli strategi nuklir Perang Dingin, studi kekuataan dan
strategi nuklir adalah studi tentang the
“non-use” of these weapons.
Menurut Collin S. Gray (1999) senjata nuklir telah
membantu menjaga perdamaian. Persaingan senjata nuklir dianggap sebagai the equivalent of war (Huntington, 1958
dalam Gray, 1999:320). Colin S. Gray (1999) menyatakan bahwa strategi tetap
hadir di tengah-tengah perkembangan senjata nuklir. Bahwa ada yang namanya Strategi
Nuklir. Konsep utama dari strategi ini adalah deterrence. Meskipun senjata nuklir tidak memberikan dampak nyata
pada tingkat taktis dan operasional langsung militer mengingat daya hancurnya,
tapi senjata nuklir dapat bekerja langsung pada sumber tindakan yang sebenarnya
dalam politik dunia, yaitu di benak para pembuat kebijakan (Gray, 1999:323).
Lebih lanjut, Collin S. Gray (2007) menyebutkan bahwa “If nuclear weapons cannot serve political purposes as weapons in
military use, they can certainly serve policy by the threat of their employment”.
Kedua negara adidaya pada saat Perang Dingin mengakui bahwa penggunaan nuklir
skala besar akan merugikan diri sendiri. Terlepas dari asumsi bahwa strategi
nuklir adalah pengejaran sia-sia, hal itu merupakan kebutuhan yang tak
terelakkan. Sebagaimana persenjataan nuklir tumbuh dari puluhan hingga ribuan,
dan akhirnya ke puluhan ribu, Amerika Serikat dan Uni Soviet, diikuti oleh negara
lain, maka pengembangan strategi nuklir harus dilakukan (Gray, 2007:211). Lebih
lanjut, menurut Gray (2007) strategi-strategi harus disesuaikan dengan situasi
geostrategis unik dari setiap negara. Serta, setiap negara membutuhkan perubahan
yang konstan karena teknologi desain senjata dan pengiriman berevolusi.
Dari apa yang sudah penulis
paparkan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa strategi digunakan sebagai menjaga
keamanan negara, bagaiamana negara mampu menjaga keamanan dan mendeteksi
ancaman-ancaman yang ada. Secara bertahap senjata-senjata yang dimiliki oleh negara
berkembang, sama halnya dengan ukuran-ukuran dari tentaranya. Perang semakin
menjadi masalah mobilisasi nasional dan usaha profesional. Begitu senjata
nuklir, senjata nuklir mulai mengalami revolusi dan perkembangan sejak tahun
1945 yang ditandai dengan perkembangan bom atomik. senjata nuklir ini tampaknya
mematahkan hubungan antara means dan ends yang merupakan esensi penting dari
strategi itu sendiri. Karena senjata ini terlalu kuat dan terlalu merusak jika
digunakan untuk melayani setiap tujuan politik. Penulis beranggapan bahwa
senjata nuklir memang benar memiliki signifikansi yang besar, namun penulis
ragu akan nilai strategis yang dimiliki senjata nuklir ini. Hal ini beralasan
karena penulis menganggap bahwa perang nuklir tidak akan terjadi mengikat
besarnya daya hancur yang dimiliki senjata nuklir.
Referensi:
Gray, Colin S. 1999. Nuclear
Weapons in Strategic History. Dalam: Modern
Strategy. Oxford: Oxford University Press, pp. 319-353
Gray, Colin S. 2007. the
Cold War II: the Nuclear Revolution. Dalam: War, Peace and
International Relations: an Introduction to Strategic History. New York:
Routledge, pp. 205-18
Klein, Bradley S. 1994. What
Nuclear Revolution?. Dalam: Strategic
Studies and World Order: the Global Politics of Deterrence. Cambridge:
Cambridge University Press, pp. 39-80
Mahnken
Thomas G & Maiolo, Joseph A. 2008. Strategic
Studies. New York: Routledge.
Sloan, Elinor C. 2012. Modern Military Strategy. New York: Routledge.