Sumber Gambar: Google |
“Jika kamu mengenal musuhmu dan dirimu
sendiri, kamu tidak perlu takut akan hasil dari 100 pertempuran. Jika kamu
mengenal dirimu sendiri tanpa mengenal musuhmu, maka setiap kemenangan yang
kamu peroleh akan disertai pula dengan penderitaan. Jika kamu tidak mengenal
musuhmu dan dirimu sendiri, maka kamu akan menderita kekalahan dalam setiap
pertempuran’’ (Sun Tzu, dalam Weru, t.t: 15).
Pemikiran-Pemikiran Sun
Tzu yang Berbeda
“Sun Tzu, for his part, remainds us that
victory does not always require the physical destruction of an adversary. He
also highlights the importance of intellegence” (Mahnken, 2007: 80).
Pemahaman Sun Tzu terhadap
perang secara signifikan berbeda degan Clausewitz. Sun Tzu lebih menekankan
pada upaya pencapaian kemenangan ideal adalah tanpa bloodshed (Mahnken, 2007: 76). Lebih lanjut Sun Tzu menulis dalam Art of War (1963), “to subdue the enemy
without fighting is the acme of skill”, ia kemudian menyatakan most successful strategies dalam
mengalahkan musuh adalah dengan penyerangan psikologis lawan dan pengunaan
trik-trik penipuan (Mahnken, 2007: 77). Mengingat perang adalah bentuk pencarian
terhadap keunggulan komparatif, maka perang ditilik oleh Sun Tzu, bukan hanya
sekedar menghancurkan militer musuh, tetapi bagaimana untuk menghentikan
keinginan untuk berperang. Di sinilah Clausewitz, seorang jendral perang abad
19an asal Prusia skeptis terhadap pemikiran Sun Tzu, Clausewitz lebih menekankan
bahwa war is ultimately about killing and
dying, oleh karenanya ia mempercayai perang sebagai kontes pergulatan
antara militer, sebagai instrumen politik, dan bentuk aktivitas sosial (Mahnken, 2007: 71-2). Perbedaan ini
tentu memberikan gambaran yang lebih beragam terhadap susunan strategi perang yang
banyak diilhami oleh militer-militer dan bahkan kelompok-kelompok kepentingan
pengguna instrumen perang saat ini.
“Whereas Clausewitz writes that
destroying the enemy’s army is most often the key to victory in war, Sun Tzu
recommends that the best alternative is to attack the enemy’s strategy. The
next best alternatives is to attack the opponent’s alliances. Destroying the
enemy’s army ranks third on his list of preffered strategies” (Mahnken, 2007:77).
Strategi berperan sebagai alat yang digunakan untuk menganalisa opsi dan pemilahan prioritas dalam perumusan yang diwujudkan dalam
aksi-aksi yang koheren (Susanto, 2015). Dalam hal ini, seorang strategis harus
mampu mendiagnosa pertimbangan dan analisa, sebagai langkah untuk mencapai
tujuan-tujuan yang dikehendaki.
Berangkat dari pemahaman tersebut, Sun Tzu memberikan gambaran kunci untuk
memenangkan perang sebagai upaya bertahan (survive)
negara adalah dengan mengetahui kapabilitas, posisi, dan kondisi baik lawan
maupun diri sendiri. Proses analisa tersebut akan menjadi sulit akibat banyak
ditemui imperfect information,
ethnocentrisms, and mirror-imaging. Oleh karena itu, dalam proses analisis
yang cermat diperlukan adanya intelegensia (Tzu, 1963). Sebagai seorang yang
optimistic dalam memandang keberadaan intelejen, Sun Tzu mempercayai bahwa
hasil perang dapat diketahui apabila pemimpin memiliki pemikiran dan anlisis
kalkulasi situasi keseluruhan (Mahnken, 2007:77). Maka dari itu, Sun Tzu
menekankan pentingnya kalkulasi dalam perencanaan utamanya analisis informasi
kelemahan lawan.
Seni berperang ditentukan oleh lima faktor tetap
yang harus dipertimbangkan di saat mennetukan sikap dalam menghadapi situasi
lapangan yakni: (1) hukum moral, pendorong adanya hubungan baik antara rakyat
dan penguasa, dan mendorong lahirnya kepatuhan-kepatuhan; (2) langit, merujuk
pada situasi, musim, dan waktu; (3) bumi, kalkulasi jarak, ruang, dan
ancaman-ancaman bahaya akibat bentuk medan; (4) pimpinan yang menegakkan
kearifan, kejujuran, kebaikan, keberanian, dan ketelitian; (5) serta metode dan
disiplin, pola-pola pengaturan pasukan, pemilihan jalur, dan masalah-masalah
administratif (Sun Tzu dalam Weru, 1985:5). Hal-hal semacam ini,
memberikan gambaran kepada pemimpin tentang hasil yang akan didapatkan. Dari
analisis bentuk ini, diharapkan pergerakan dan taktik yang diterapkan merupakan
sebuah hasil dari kalkulasi yang cermat, hal ini diupayakan agar terwujudnya
kemenangan yang maksimal.
Secara umum terdapat lima hal yang perlu
diperhatikan untuk mencapai kemenangan disebutkan Sun Tzu (dalam Weru, 1985:
15) yakni: (1) yang akan menang adalah dia yang mengetahui saat untuk menyerang
dan saat untuk tidak melakukan penyerangan; (2) yang akan menang adalah dia
yang mampu mengendalikan pasukan yang lebih besar ataupun pasukan yang lebih
kecil daripada lawan; (3) yang akan menang adalah pasukan-pasukan yang disorong
oleh semangat yang sama pada semua tingkat kepangkatan; (4) yang akan menang
adalah dia yang mempersiapkan dirinya serta menunggu saat lawan tidak dalam
keadaan siap; (5) serta yang akan menang adalah yang memiliki kemampuan militer
dan tidak dirintangi oleh penguasa. Dalam bagian muslihat penyerbuan, Sun Tzu
(dalam Weru, 1985: 13) memberikan gambaran bahwa dalam seni berperang panglima
atau pemimpin perang harus dapat memegang kendali kepemimpinan. Lebih lanjut,
Sun Tzu menekankan beberapa bentuk penyerangan seperti dengan mematahkan rencana-rencana musuh, mencegah pasukan musuh membentuk aliansi, menggempur secara langsung musuh, serta langkah paling akhir diambil adalah mengepung
kota-kota. Dalam hal ini, permainan terhadap pasukan musuh dengan lebih memilih
menawan daripada menghancurkan adalah hal yang baik. Dengan demikian,
pertempuran untuk mengalahkan dan menghancurkan bukanlah suatu cara yang
‘terpuji’, yang lebih tepat kemudian adalah menawan satu resimen, satu detasemen,
atau bahakan satu kompi pasukan lawan yang ditujukan untuk memecah belah
pertahanan lawan tanpa melakukan perkelahian (Sun Tzu dalam Weru, 1985: 13).
“Sun Tzu’s priority of war: the heighest
form of warfare is to attack strategy itself, the next is to attack alliance,
the next is to attack armies, and the lowest form of war to attack cities”.
Sebagai seorang filsuf yang hidup di masa
dinasti Cina yang penuh dengan bentuk ikatan feodalisme kental, yang mana
banyak interaksi ditekankan pada peperangan fisik, Sun Tzu memberi penilaian
bentuk perang terbuka banyak menghasilkan outcomes
destruktif. Oleh karenanya, Sun Tzu kemudian memberikan arahan mengenai
startegi untuk memenangkan kompetisi, bahkan melalui perang tidak langsung.
Lebih lanjut ia menekankan perang secara fisik sebagai alternatif terakhir (Sun
Tzu dalam Weru, 1985: i). Meski menekankan pada perang non-fisik (win without war), bukan berarti pola-pola
penyerangan kemudian dinafikkan, pemikiran Sun Tzu yang kemudian banyak diilhami
adalah bagaimana peran jendral dalam menganalisa kemungkinan dan penyusunan
strategi yang matang utamanya untuk menghancurkan strategi pergerakan musuh. Dalam
hal ini, perang terbuka terjadi diupayakan saat kondisi terdesak.
Pengkategorian pemikiran Sun Tzu dalam
klasikan strategi didasarkan pada rentang waktu. klasik ditekankan pada
pemikiran yang mengacu pada kondisi sebelum adanya negara berdaulat, atau dalam
kata lain otoritas pemerintahan masih dipegang oleh kerajaan-kerajaan.
Sementara modern strategi seperti pemikiran Clausewitz ditekankan pada situasi
adanya negara bangsa. Klasik dan modern strategi dibedakan secara jelas dalam
analisis bukan hanya waktu, tetapi juga instrumen perang, cara perang, dan
keterlibatan pemimpin. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengenai batasan
klasik dan modern. Seperti penekanan yang telah dibahas pertemuan yang lalu,
klasikal strategi didasarkan pada wisdom,
idealism, dan filosofi, sementara modern strategi lebih kepada sistematika
yang pasti. Strategi klasikal Sun Tzu telah memberikan gambaran manajemen
sumber daya, pentingnya analisis, dan komando jendral cakap untuk berperang
agar tidak memakan kerugian yang masif. Panglima perang oleh Sun Tzu (dalam
Weru, 1985: 33) harus memperhatikan tentang mana jalan yang tidak boleh
dilalui, pasukan yang tidak boleh diserang, kota-kota yang tidak boleh
dikepung, posisi-posisi yang dirahasiakan, dan perintah-perintah penguasa yang
tidak perlu dipatuhi. Pemimpin-pemimpin yang sadar akan keuntungan-keuntungan
yang diperoleh dalam penggunaan berbagai macam taktik, mengetahui bagaimana
menguasai pasukannya. Dalam menghadapi musuh, Sun Tzu juga menekankan adanya
kesiapan yang selalu dijaga untuk menghadapi musuh. Sementara 5 hal fatal yang
perlu dihindari oleh panglima perang adalah tindak gegabah, rasa takut, terburu
nafsu, gila hormat, dan kekhawatiran yang berlebihan. Kelima bentuk ini akan
menjadi penghancur dan bahkan alasan terbunuhnya panglima perang oleh pasukan
lawan (Sun Tzu dalam Weru, 1985: 34).
Dari penjelasan di atas dapat
disimpulkan bahwa pemahaman strategi perang oleh Sun Tzu terletak pada
kemenangan yang didapat tanpa berperang secara total. Oleh karenanya, Sun Tzu
kemudian lebih menekankan pada pematahan keinginan berperang dan penyerang
terhadap strategi musuh. Dalam mengupayakan hal tersebut, adanya komando yang
jelas dari pemimpin dan kepatuhan prajurit menjadi penentu keberhasilan
mengalahkan lawan, selain kemudian adalah perlunya mata-mata sebagai pemberi
informasi utuk kemudian diolah dan dianalisa secara cermat dalam merumuskan
taktik dan strategi yang akan diterapkan. Buku Art of War yang ditulis Sun Tzu menjadi salah satu karya militer
tertua di dunia. Ditulis sejak 2500 tahun yang lalu, buku ini masih sangat
relevan dengan keadaan militer dewasa ini dalam hal mengorganisir cara
berperang dan bertempur (Weru, 1985: i). Dalam tulisannya, Sun Tzu menekankan
untuk menghindari pertempuran kecuali bila semua hal sudah dipertimbangkan
dengan sebaik-baiknya. Mengenalkan metode langsung dan tak langsung dalam
mencapai kemenangan, cara pengelola instrumen militer, penggunaan mata-mata dan
penerapan taktik pengelabuan untuk menyesatkan lawan, banyak dìbahas dalam
bukunya. Mempelajari pola-pola strategi, taktik penyerangan, perencanaan yang
didukung intelejen, serta membangun kepercayaan, kecermatan, dan manajemen yang
baik kemudian menjadi sangat penting menurut penulis. Mengingat
pemikiran-pemikiran Sun Tzu berbentuk seperti ‘nasihat-nasihat’, logic of strategy, menjadi sangat
aplikatif kemudian dapat dijadikan tuntunan atau pedoman dasar serta pengayaan
utamanya bagi jendral perang dan bahkan manajemen tingat tinggi, hal ini karena
dasar-dasar Sun Tzu sesungguhnya dapat disesuaikan dengan berbagai fenomena
yang ada dewasa ini.
Referensi :
B. Weru, Caspar.
1985. Berkenalan dengan Ahli Strategi Militer Cina Klasik Soen Tzu. Jakarta: Intermedia.
Mahnken, Thomas G. 2007. Strategic Theory. dalam: John Baylis et. al. (ed.), Strategy in the Contemporary
World. Oxford: Oxfor University Press, pp. 66-81
Tzu, Sun. 1998. The Art
of War. dalam: Wordworth Classic of World Literature, pp. 10-53.
Susanto,
Joko. 2015. Kuliah Strategi dan Tata Kelola Strategi: What is Strategy. Mata
Kuliah STKS Universitas Airlangga. Disampaikan pada Maret 2015.
0 comments:
Post a Comment