Sumber Gambar: Google |
Berkembangnya interaksi yang ada
di dunia saat ini baik antar negara dan individu tidak terlepas dari peran
globalisasi. Seperti gagasan yang telah dipahami pada umumnya bahwa globalisasi
membuat dunia ini semakin “kecil” dengan mengaburkan atau bahkan menghapus
sekat-sekat yang membatasi interaksi antar negara dan individu. Lebih dari itu,
saat ini interaksi antar individu dapat melebihi interaksi antar negara, dengan
kemudahan dalam berkomunikasi dan mobilisasi yang ditawarkan oleh globalisasi,
kiranya negara sudah mulai ditinggalkan oleh individu yang berpindah-pindah,
jika dapat disebut demikian. Muncul sebuah istilah kosmopolitanisme yang
memberikan pandangan bahwa negara mulai tergantikan dengan entitas baru yang
lebih besar dan berskala global dengan mencakup semua manusia. Lantas
sebenarnya, apakah pengertian dari kosmopolitanisme jika ditilik dari beberapa
kacamata scholar yang mendalami hal
ini? Berangkat dari hal ini, penulis mengajak untuk mendalami paham
kosmopolitanisme lebih jauh, apakah sebenarnya alasan dibalik mengapa
kosmopolitanisme ini harus dipahami dan dipelajari? Lantas bagaimana perbedaan
antara kosmopolitanisme dengan multikulturalisme dan globalisasi? Apakah tiga
hal tersebut sama? Atau bahkan jauh berbeda?
Mengawali pendalaman mengenai
kosmopolitanisme, kata kosmopolitanisme sendiri berasal dari bahasa Yunani,
yaitu cosmos, yang memiliki arti sebuah
tatanan universal alami, tatanan masyarakat yang bervariasi (Ribeiro, 2001:19).
kosmopolitanisme secara singkat dipahami sebagai sebuah keyakinan bahwa semua
orang ada dalam tatanan etis-politis yang dibangun secara global (Gannaway,
2009:1). Kosmopolitanisme dipahami sebagai sebuah etos, “a habit of mind” serangkaian loyalitas kepada umat manusia secara
keseluruhan, yang menekankan kesamaan dan tanggung jawab kewarganegaraan global
(Nussbaum, 1996 dalam Harvey, 2000:1). Dua pengertian mengenai kosmopolitanisme
dari dua scholar yang berbeda ini
memiliki suatu benang merah yang jika ditarik maka akan memberikan sebuah
gagasan baru bahwa kosmopolitanisme itu merupakan sebuah cara pandang bagaimana
individu memahami dirinya sebagai suatu masyarakat dunia yang berada di dalam
tatanan etis-politis yang dibangun dalam skala global, bukan di dalam suatu
identitas atau budaya tertentu. Sebutan Kosmopolitan disematkan kepada individu
yang menyatakan bahwa individu tersebut merupakan bagian dari dunia atau “belong to the world” (Schueth &
O’Loughlin, 2006:2). Sementara itu, Jeremy Waldron (2000) menyebutkan bahwa
Kosmopolitan merupakan seseorang yang tidak menghubungkan identitas dirinya
dengan suatu tempat tertentu, yang tidak mendenfinsikan identitas budayanya
dengan budaya-budaya tertentu yang ada di dunia, dan yang tidak mendefiniskan
identitasnya sebagai sebuah hal yang homogen ketika individu tersebut belajar
bahasa Yunani, makan masakan Chinese, mengenakan
pakaian yang terbuat dari Korea, mendengarkan lagu bangsa Aria yang dinyanyikan
oleh composer asal Italia Verdi,
memberikan kuliah di Buenos Aires, mengikuti perpolitikan Israel, atau belajar
teknik meditasi Buddha. Apa yang telah dijabarkan oleh Jeremy Waldron merupakan
sebuah contoh yang jelas bagaimana memandang seorang Kosmopolitan, tulisan ini
akan berlanjut kepada pembahasan mengenai asal-usul cara pandang kosmopolitanisme.
Saat awal merembaknya pandangan
kosmopolitanisme ini dipercaya pada awal abad ke-18. Pandangan kosmopolitanisme
ini didukung dengan dunia yang saling berhubungan sejak abad ke-18 untuk
menghasilkan lembaga yang memiliki jangkauan global dengan fungsi pengaturan
dan bentuk global kesadaran politik atau solidaritas (Cheah, 2006:486). Cheah
(2006) menambahkan bahwa asal mula penggunaan kata Kosmopolitan digunakan
pertama kali oleh Jean le Rond d’Alembert, seorang ahli matematika, pada tahun
1750an ketika D’Alembert menambahkan kata Cosmopolitan
ke dalam bukunya yang berjudul Encyclopédie
(1751), sebuah buku ensiklopedia yang terkenal mewakili pemikiran-pemikiran
masa Pencerahan, yang mengindikasikan kata tersebut dengan ‘citizen of the universe’. Namun, jauh
sebelum itu, pada tahun 300 S.M. pemahaman mengenai kosmopolitanisme terbentuk
di Athena, dengan memberikan pandangan mengenai world city, sebuah state
yang ideal di mana setiap orang akan menjadi warga state tersebut (Ribeiro, 2001:20). Sehingga dapat dimengerti bahwa
jauh sebelum abad ke-18, esensi yang dimiliki oleh kosmopolitanisme sudah ada
jauh sebelum itu, sejak era Alexander the
Great (356-323 S.M.) tercetus mengenai “World
Empire” yang diduga bertujuan menyatukan Timur dan Barat menjadi sebuah
persemakmuran yang tercerahkan. Selain itu, Schueth dan O’Loughlin (2006) juga
memaparkan asal-usul dari kosmopolitanisme, bahwa esensi yang dimiliki oleh
kosmopolitanisme telah ada sejak abad ke-4 S.M., Diogenes of Sinop, seorang filsuf
asal Yunani mencetuskan bahwa ‘I’m a
citizen of the world’ setiap kali ada seseorang yang menanyakan asal
mulanya.
Dari
beberapa penjelasan di atas, dapat ditarik benang merahnya bahwa
kosmopolitanisme sendiri sudah ada sejak dahulu kala, meskipun belum tercetus
istilah tersebut namun esensi yang dimiliki oleh kosmopolitanisme telah lama
tertanam sejak era Alexander the Great. Meskipun
begitu, kosmopolitanisme modern sendiri dicetuskan oleh Immanuel Kant (Cheah,
2006:487). Kant (1968 dalam Cheah, 2006:487) menggagas sebuah ide bagaimana sebuah
warga-dunia bertindak dari sudut pandang pluralistik kemanusiaan sebagai aktor
kolektif yang berlawanan dengan egoistik individu. Lebih lanjut, Kant (1968
dalam Cheah, 2006:487) sendiri memberikan 4 formula berdasarkan
kosmopolitanisme: (1) a world federation
as the legal and political institutional basis for cosmopolitanism as a form of
right; (2) dasar historis kosmopolitanisme dalam perdagangan dunia; (3) ide
dari ranah publik global; dan (4) pentingnya budaya kosmopolitan dalam
menanamkan rasa memiliki bagi kemanusiaan.
Memahami serta mempelajari
kosmopolitanisme dianggap penting, dalam tulisannya yang berjudul ‘What is Cosmopolitanism?’, Adam Gannaway
(2009) memaparkan gagasan yang senada dengan apa yang penulis sebutkan di awal
tulisan ini, bahwa meningkatnya interkoneksi antar individu dalam skala global
memberikan problematika mengenai batas-batas etis-politik yang terkait dengan
negara-bangsa. Meskipun dunia terus berkembang dan interkonetivitas terus
meningkat, namun hal ini justru memberikan dampak yang negative terhadap dunia
saat ini. Saling terhubungnya masyarakat dipercaya menciptakan
pelanggaran-pelanggaran yang telah diatur dengan rapi, permasalahan ekonomi,
meningkatnya imigrasi, isu mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) serta meningkatnya
ancaman bencana alam. Kosmopolitanisme menjawab semua permasalahan tersebut
(Gannaway, 2009:3). Dengan memahami kosmopolitanisme, dipercaya dapat menjawab
semua tantangan yang disebabkan oleh meningkatkan keterkaitan antar individu
saat ini. Setidaknya, Adam Gannaway (2009) menjelaskan bahwa kosmopolitanisme
menjawab tantangan tersebut dengan dua macam kategori: Moral, mengaji apa akibat
tanggung jawab moral dari shared humanity
seperti yang dialami di dalam era global; Politik, menggarisbawahi usulan
solusi hukum atau solusi politik untuk masalah global. Lebih lanjut, berikut
ulasan lengkap Adam Gannaway (2009) bagaimana kosmopolitanisme menjawab
berbagai macam isu saat ini, dalam sudut moral: (1) kemiskinan global
membutuhkan dedikasi moral untuk upaya redistribusi yang melintasi batas-batas;
(2) Mengejar kepentingan nasional atau
tindakan politik sepihak harus diseimbangkan dengan kekhawatiran mengenai pengaruh
dari tindakan tersebut pada komunitas global yang lebih luas; (3) Bangsa
memiliki kewajiban untuk menegakkan HAM dan memiliki tanggung jawab untuk
melindungi pelanggaran HAM tersebut. Sementara itu, dalam sudut politik: (1) Proses
globalisasi telah mengancam otonomi pengambilan keputusan dan kedaulatan rakyat
dari negara demokratis; (2) Orang-orang telah tunduk terhadap peningkatan
jumlah badan pengambil keputusan di luar negaranya tanpa hak yang sesuai untuk
berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan tersebut; (3) Sejumlah isu
yang menjadi perhatian global atau regional telah muncul dan memerlukan tindakan di luar tingkat nation-state. Hal inilah yang disebutkan
oleh Adam Gannaway (2009) bagaimana pentingnya memahami posisi kosmopolitanisme
dalam berbagai isu saat ini.
Penulis beranggapan bahwa
kosmopolitanisme dan globalisasi merupakan sebuah fenomena yang memiliki
perbedaan yang tipis. Kedua nya menjelaskan bagaimana saat ini dunia saling
terhubung dan semakin bebas. globalisasi dianggap menghilangkan identitas
seorang individu, dan individu tersebut menjadi seorang kosmopolitan yang
mengaku bahwa individu tersebut merupakan masyarakat dunia, bukan lagi sebagai
seorang warga dari negara atau entitas tertentu. Dari apa yang sudah penulis
paparkan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kosmopolitanisme itu merupakan
sebuah cara pandang bagaimana individu memahami dirinya sebagai suatu
masyarakat dunia yang berada di dalam tatanan etis-politis yang dibangun dalam
skala global, bukan di dalam suatu identitas atau budaya tertentu. Kosmopolitanisme
sendiri sudah ada sejak dahulu kala, meskipun belum tercetus istilah tersebut
namun esensi yang dimiliki oleh kosmopolitanisme telah lama tertanam sejak era Alexander the Great. Meskipun begitu,
kosmopolitanisme modern sendiri dicetuskan oleh Immanuel Kant yang menggagas
sebuah ide bagaimana sebuah warga-dunia bertindak dari sudut pandang
pluralistik kemanusiaan sebagai aktor kolektif yang berlawanan dengan egoistik
individu. Mempelajari kosmopolitanisme itu sendiri dianggap penting karena saat
ini saling terhubungnya masyarakat dipercaya
menciptakan pelanggaran-pelanggaran yang telah diatur dengan rapi, permasalahan
ekonomi, meningkatnya imigrasi, isu mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) serta
meningkatnya ancaman bencana alam. Kosmopolitanisme menjawab semua permasalahan
tersebut.
Referensi:
Cheah, Peng. 2006. Cosmopolitanism. Dalam: Theory
Culture Society. Pp. 486
Gannaway,
Adam. 2009. What is Cosmopolitanism?.
MPSA Conference Paper.
Harvey, David. 2000. Cosmopolitanism and the
Banality of Geographical Evils. Dalam: Public
Culture Spring. Durham: Duke University Press.
Ribeiro, Gustavo L., 2001. What is
Cosmopolitanism?. Dalam: International
Encyclopedia of Social and Behavioral Sciences (4). London: Elsevier, pp. 2842-45
Schuet Sam & John O’Loughlin. 2006. Belonging to the World: Cosmopolitanism in Geographic
Contexts. London: Elsevier.
Waldron, Jeremy. 2000. What is Cosmopolitan?.
Dalam: The Journal of Philosophy: Volume
8 Number 2. Oxford: Blackwell Publishers
0 comments:
Post a Comment