Tuesday, June 20, 2017

Kosmopolitanisme: Individu adalah Bagian dari Dunia

Sumber Gambar: Google

Berkembangnya interaksi yang ada di dunia saat ini baik antar negara dan individu tidak terlepas dari peran globalisasi. Seperti gagasan yang telah dipahami pada umumnya bahwa globalisasi membuat dunia ini semakin “kecil” dengan mengaburkan atau bahkan menghapus sekat-sekat yang membatasi interaksi antar negara dan individu. Lebih dari itu, saat ini interaksi antar individu dapat melebihi interaksi antar negara, dengan kemudahan dalam berkomunikasi dan mobilisasi yang ditawarkan oleh globalisasi, kiranya negara sudah mulai ditinggalkan oleh individu yang berpindah-pindah, jika dapat disebut demikian. Muncul sebuah istilah kosmopolitanisme yang memberikan pandangan bahwa negara mulai tergantikan dengan entitas baru yang lebih besar dan berskala global dengan mencakup semua manusia. Lantas sebenarnya, apakah pengertian dari kosmopolitanisme jika ditilik dari beberapa kacamata scholar yang mendalami hal ini? Berangkat dari hal ini, penulis mengajak untuk mendalami paham kosmopolitanisme lebih jauh, apakah sebenarnya alasan dibalik mengapa kosmopolitanisme ini harus dipahami dan dipelajari? Lantas bagaimana perbedaan antara kosmopolitanisme dengan multikulturalisme dan globalisasi? Apakah tiga hal tersebut sama? Atau bahkan jauh berbeda?
Mengawali pendalaman mengenai kosmopolitanisme, kata kosmopolitanisme sendiri berasal dari bahasa Yunani, yaitu cosmos, yang memiliki arti sebuah tatanan universal alami, tatanan masyarakat yang bervariasi (Ribeiro, 2001:19). kosmopolitanisme secara singkat dipahami sebagai sebuah keyakinan bahwa semua orang ada dalam tatanan etis-politis yang dibangun secara global (Gannaway, 2009:1). Kosmopolitanisme dipahami sebagai sebuah etos, “a habit of mind” serangkaian loyalitas kepada umat manusia secara keseluruhan, yang menekankan kesamaan dan tanggung jawab kewarganegaraan global (Nussbaum, 1996 dalam Harvey, 2000:1). Dua pengertian mengenai kosmopolitanisme dari dua scholar yang berbeda ini memiliki suatu benang merah yang jika ditarik maka akan memberikan sebuah gagasan baru bahwa kosmopolitanisme itu merupakan sebuah cara pandang bagaimana individu memahami dirinya sebagai suatu masyarakat dunia yang berada di dalam tatanan etis-politis yang dibangun dalam skala global, bukan di dalam suatu identitas atau budaya tertentu. Sebutan Kosmopolitan disematkan kepada individu yang menyatakan bahwa individu tersebut merupakan bagian dari dunia atau “belong to the world” (Schueth & O’Loughlin, 2006:2). Sementara itu, Jeremy Waldron (2000) menyebutkan bahwa Kosmopolitan merupakan seseorang yang tidak menghubungkan identitas dirinya dengan suatu tempat tertentu, yang tidak mendenfinsikan identitas budayanya dengan budaya-budaya tertentu yang ada di dunia, dan yang tidak mendefiniskan identitasnya sebagai sebuah hal yang homogen ketika individu tersebut belajar bahasa Yunani, makan masakan Chinese, mengenakan pakaian yang terbuat dari Korea, mendengarkan lagu bangsa Aria yang dinyanyikan oleh composer asal Italia Verdi, memberikan kuliah di Buenos Aires, mengikuti perpolitikan Israel, atau belajar teknik meditasi Buddha. Apa yang telah dijabarkan oleh Jeremy Waldron merupakan sebuah contoh yang jelas bagaimana memandang seorang Kosmopolitan, tulisan ini akan berlanjut kepada pembahasan mengenai asal-usul cara pandang kosmopolitanisme.
Saat awal merembaknya pandangan kosmopolitanisme ini dipercaya pada awal abad ke-18. Pandangan kosmopolitanisme ini didukung dengan dunia yang saling berhubungan sejak abad ke-18 untuk menghasilkan lembaga yang memiliki jangkauan global dengan fungsi pengaturan dan bentuk global kesadaran politik atau solidaritas (Cheah, 2006:486). Cheah (2006) menambahkan bahwa asal mula penggunaan kata Kosmopolitan digunakan pertama kali oleh Jean le Rond d’Alembert, seorang ahli matematika, pada tahun 1750an ketika D’Alembert menambahkan kata Cosmopolitan ke dalam bukunya yang berjudul Encyclopédie (1751), sebuah buku ensiklopedia yang terkenal mewakili pemikiran-pemikiran masa Pencerahan, yang mengindikasikan kata tersebut dengan ‘citizen of the universe’. Namun, jauh sebelum itu, pada tahun 300 S.M. pemahaman mengenai kosmopolitanisme terbentuk di Athena, dengan memberikan pandangan mengenai world city, sebuah state yang ideal di mana setiap orang akan menjadi warga state tersebut (Ribeiro, 2001:20). Sehingga dapat dimengerti bahwa jauh sebelum abad ke-18, esensi yang dimiliki oleh kosmopolitanisme sudah ada jauh sebelum itu, sejak era Alexander the Great (356-323 S.M.) tercetus mengenai “World Empire” yang diduga bertujuan menyatukan Timur dan Barat menjadi sebuah persemakmuran yang tercerahkan. Selain itu, Schueth dan O’Loughlin (2006) juga memaparkan asal-usul dari kosmopolitanisme, bahwa esensi yang dimiliki oleh kosmopolitanisme telah ada sejak abad ke-4 S.M., Diogenes of Sinop, seorang filsuf asal Yunani mencetuskan bahwa ‘I’m a citizen of the world’ setiap kali ada seseorang yang menanyakan asal mulanya.
Dari beberapa penjelasan di atas, dapat ditarik benang merahnya bahwa kosmopolitanisme sendiri sudah ada sejak dahulu kala, meskipun belum tercetus istilah tersebut namun esensi yang dimiliki oleh kosmopolitanisme telah lama tertanam sejak era Alexander the Great. Meskipun begitu, kosmopolitanisme modern sendiri dicetuskan oleh Immanuel Kant (Cheah, 2006:487). Kant (1968 dalam Cheah, 2006:487) menggagas sebuah ide bagaimana sebuah warga-dunia bertindak dari sudut pandang pluralistik kemanusiaan sebagai aktor kolektif yang berlawanan dengan egoistik individu. Lebih lanjut, Kant (1968 dalam Cheah, 2006:487) sendiri memberikan 4 formula berdasarkan kosmopolitanisme: (1) a world federation as the legal and political institutional basis for cosmopolitanism as a form of right; (2) dasar historis kosmopolitanisme dalam perdagangan dunia; (3) ide dari ranah publik global; dan (4) pentingnya budaya kosmopolitan dalam menanamkan rasa memiliki bagi kemanusiaan.
Memahami serta mempelajari kosmopolitanisme dianggap penting, dalam tulisannya yang berjudul ‘What is Cosmopolitanism?’, Adam Gannaway (2009) memaparkan gagasan yang senada dengan apa yang penulis sebutkan di awal tulisan ini, bahwa meningkatnya interkoneksi antar individu dalam skala global memberikan problematika mengenai batas-batas etis-politik yang terkait dengan negara-bangsa. Meskipun dunia terus berkembang dan interkonetivitas terus meningkat, namun hal ini justru memberikan dampak yang negative terhadap dunia saat ini. Saling terhubungnya masyarakat dipercaya menciptakan pelanggaran-pelanggaran yang telah diatur dengan rapi, permasalahan ekonomi, meningkatnya imigrasi, isu mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) serta meningkatnya ancaman bencana alam. Kosmopolitanisme menjawab semua permasalahan tersebut (Gannaway, 2009:3). Dengan memahami kosmopolitanisme, dipercaya dapat menjawab semua tantangan yang disebabkan oleh meningkatkan keterkaitan antar individu saat ini. Setidaknya, Adam Gannaway (2009) menjelaskan bahwa kosmopolitanisme menjawab tantangan tersebut dengan dua macam kategori: Moral, mengaji apa akibat tanggung jawab moral dari shared humanity seperti yang dialami di dalam era global; Politik, menggarisbawahi usulan solusi hukum atau solusi politik untuk masalah global. Lebih lanjut, berikut ulasan lengkap Adam Gannaway (2009) bagaimana kosmopolitanisme menjawab berbagai macam isu saat ini, dalam sudut moral: (1) kemiskinan global membutuhkan dedikasi moral untuk upaya redistribusi yang melintasi batas-batas; (2) Mengejar kepentingan nasional atau tindakan politik sepihak harus diseimbangkan dengan kekhawatiran mengenai pengaruh dari tindakan tersebut pada komunitas global yang lebih luas; (3) Bangsa memiliki kewajiban untuk menegakkan HAM dan memiliki tanggung jawab untuk melindungi pelanggaran HAM tersebut. Sementara itu, dalam sudut politik: (1) Proses globalisasi telah mengancam otonomi pengambilan keputusan dan kedaulatan rakyat dari negara demokratis; (2) Orang-orang telah tunduk terhadap peningkatan jumlah badan pengambil keputusan di luar negaranya tanpa hak yang sesuai untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan tersebut; (3) Sejumlah isu yang menjadi perhatian global atau regional telah muncul dan  memerlukan tindakan di luar tingkat nation-state. Hal inilah yang disebutkan oleh Adam Gannaway (2009) bagaimana pentingnya memahami posisi kosmopolitanisme dalam berbagai isu saat ini.
Penulis beranggapan bahwa kosmopolitanisme dan globalisasi merupakan sebuah fenomena yang memiliki perbedaan yang tipis. Kedua nya menjelaskan bagaimana saat ini dunia saling terhubung dan semakin bebas. globalisasi dianggap menghilangkan identitas seorang individu, dan individu tersebut menjadi seorang kosmopolitan yang mengaku bahwa individu tersebut merupakan masyarakat dunia, bukan lagi sebagai seorang warga dari negara atau entitas tertentu. Dari apa yang sudah penulis paparkan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kosmopolitanisme itu merupakan sebuah cara pandang bagaimana individu memahami dirinya sebagai suatu masyarakat dunia yang berada di dalam tatanan etis-politis yang dibangun dalam skala global, bukan di dalam suatu identitas atau budaya tertentu. Kosmopolitanisme sendiri sudah ada sejak dahulu kala, meskipun belum tercetus istilah tersebut namun esensi yang dimiliki oleh kosmopolitanisme telah lama tertanam sejak era Alexander the Great. Meskipun begitu, kosmopolitanisme modern sendiri dicetuskan oleh Immanuel Kant yang menggagas sebuah ide bagaimana sebuah warga-dunia bertindak dari sudut pandang pluralistik kemanusiaan sebagai aktor kolektif yang berlawanan dengan egoistik individu. Mempelajari kosmopolitanisme itu sendiri dianggap penting karena saat ini saling terhubungnya masyarakat dipercaya menciptakan pelanggaran-pelanggaran yang telah diatur dengan rapi, permasalahan ekonomi, meningkatnya imigrasi, isu mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) serta meningkatnya ancaman bencana alam. Kosmopolitanisme menjawab semua permasalahan tersebut.


Referensi:

Cheah, Peng. 2006. Cosmopolitanism.  Dalam: Theory Culture Society. Pp. 486
Gannaway, Adam. 2009. What is Cosmopolitanism?. MPSA Conference Paper.
Harvey, David. 2000. Cosmopolitanism and the Banality of Geographical Evils. Dalam: Public Culture Spring. Durham: Duke University Press.
Ribeiro, Gustavo L., 2001. What is Cosmopolitanism?. Dalam: International Encyclopedia of Social and Behavioral Sciences (4). London: Elsevier, pp. 2842-45
Schuet Sam & John O’Loughlin. 2006. Belonging to the World: Cosmopolitanism in Geographic Contexts. London: Elsevier.

Waldron, Jeremy. 2000. What is Cosmopolitan?. Dalam: The Journal of Philosophy: Volume 8 Number 2. Oxford: Blackwell Publishers

0 comments:

Post a Comment