Thursday, January 18, 2018

Strategi Nuklir: Kondisi Saling Mencegah

         
Sumber Gambar: Google

         Mengetahui bagaimana saat ini perkembangan strategi dan khususnya perkembangan kekuatan militer menjadi suatu hal yang penting bagi para ahli strategi. Jika menilik ke belakang terlebih dahulu, bagaimana munculnya RMAs (Revolution in Military Affairs) pada peralatan ataupun instrumen-instrumen yang ada pada militer memberikan gambaran yang cukup besar terkait dengan postur dunia militer sekarang.  Muncul ranah-ranah baru di militer yang tidak hanya sebatas landpower dan seapower, namun juga meluas hingga airpower, spacepower bahkan cyberpower. Tidak hanya berhenti di situ saja, revolusi yang terjadi juga menciptakan peralatan-peralatan baru nan canggih guna menunjang performa militer yang ada. Untuk mengkajinya lebih dalam dan guna memberikan ulasan yang lebih jelas, penulis akan memaparkan bagaiamana perkembangan senjata nuklir pada dunia militer saat ini. Senjata nuklir dipilih untuk dikaji mengingat bagaimana signifikansi yang dimiliki oleh senjata ini dan dapat dikatakan senjata ini sebagai salah satu indikator yang cocok untuk menilai sejauh mana perkembangan revolusi di militer serta bagaimana kemunculan senjata nuklir ini mampu mengubah teori dan praktik strategi (Mahnken & Maiolo, 2008:181). Menimbang hal tersebut, maka pertanyaan yang patut untuk dilontarkan adalah bagaimana keadaan strategi pasca perkembangan teknologi nuklir? Jika boleh dikatakan senjata nuklir mengubah strategi, lantas apa saja yang berubah dari strategi? Adakah sebenarnya strategi nuklir itu? Penulis akan memaparkan lebih jauh mengenai hal tersebut.
            Klein (1994) dalam awal tulisannya yang berjudul ‘What Nuclear Revolution?’ menjelaskan mengenai kaitannya negara dengan struktur kemiliteran. Membawa asumsi dari Otto Hintze, seorang sejarawan hebat Jerman dan Machiavelli. Bahwa menurut Otto Hintze (1906, dalam Klein, 1994:41) negara modern memiliki asal di kebutuhan masyarakat untuk membatasi dan mengamankan ruang politik yang layak secara ekonomis “All state organization was originally military organization, organization for war”. Sehingga hal ini menandakan bahwa “to study the state was to study its military structure” bentuk dan semangat organisasi negara tidak akan ditentukan semata-mata oleh hubungan ekonomi dan sosial dan bentrokan kepentingan, tetapi juga oleh kebutuhan pertahanan dan pelanggaran, yaitu, dengan organisasi tentara dan peperangan (Hintze, 1906 dalam Klein, 1994:41). Mundur sedikit ke belakang, bagaimana Bradley S. Klein (1994) menjelaskan bahwa karya Machiavelli yaitu ‘The Prince’ menampilkan ambiguitas tentang penggunaan dan kepantasan kekerasan dalam mendirikan dan mempertahankan negara. Ambiguitas ini tercermin pada Machiavelli yang tidak memiliki keraguan bahwa kerajaan atau republik  yang dikelola dengan baik harus didirikan oleh penggunaan kekuatan, namun Machiavelli juga berulang kali menekankan bahwa tanpa hukum yang baik dan lembaga yang dihormati, ‘lengan’ yang memadai dan pemimpin  yang tegas tidak akan ada hasilnya (Klein, 1994:44). Machievalli mengenalkan istilah Fortuna yang merujuk pada musuh tatanan politik, ancaman utama untuk keselamatan dan keamanan negara. Sehingga Machiavelli melihat strategi sebagai praktik secara esensial dan politis, dan sebagai bagian dari upaya-upaya dari para pangeran atau prince untuk menjinakkan perubahan-perubahan fortuna melalui penyebaran cerdik kekuatan dan kekerasan publik (Klein, 1994:45). Ini menandakan perlu adanya strategi melalui kekuatan untuk melawan ancamanan negara, hal ini sudah dituliskan pada era Machiavelli. Strategi digunakan sebagai menjaga keamanan negara, bagaiamana negara mampu menjaga keamanan dan mendeteksi ancaman-ancaman yang ada.
            Secara bertahap senjata-senjata yang dimiliki oleh negara berkembang, sama halnya dengan ukuran-ukuran dari tentaranya. Perang semakin menjadi masalah mobilisasi nasional dan usaha profesional. Begitu senjata nuklir, senjata nuklir mulai mengalami revolusi dan perkembangan sejak tahun 1945 yang ditandai dengan perkembangan bom atomik (Gray, 2007:209). Tahap selanjutnya terjadi pada tahun 1952 dan 1953 yaitu perkembangan bom hidrogen.  Pada tahap ini, terjadi perubahan secara radikal pada konteks strategis, dari senjata atom yang berkisar dalam puluhan kiloton ke bom hidrogen yang berkisar hingga megaton (Gray, 2007:210). Lebih lanjut, Era nuklir telah terwujud dalam dua ‘era’ yang khas sampai saat ini, era tersebut dibedakan oleh struktur politik, bukan oleh teknologi senjata. Dalam bentuk ringkasan, era nuklir pertama meliputi tahun 1945-1989, sementara era nuklir yang kedua adalah periode pasca-Perang Dingin sampai saat ini (Gray, 1999:323). Lantas, adakah nilai strategis dari senjata nuklir ini? Collin S. Gray (2007) menyebutkan bahwa senjata nuklir ini tampaknya mematahkan hubungan antara means dan ends yang merupakan esensi penting dari strategi itu sendiri. Karena senjata ini terlalu kuat dan terlalu merusak jika digunakan untuk melayani setiap tujuan politik. Gray (2007) menambahkan bahwa negara bersenjata nuklir dapat mengalahkan musuh tanpa terlebih dahulu mengalahkan angkatan bersenjata, namun apabila musuh juga bersenjata nuklir maka dapat dipastikan kasil akhirnya akan menjadi kekalahan kedua belah pihak.
            Senjata nuklir telah mengubah studi strategi yang awalnya memenangkan perang, menjadi mencegah perang. Seperti yang dituturkan Bernard Brodie (dalam Mahnken & Maiolo, 2008:181), bahwa senjata nuklir mengarah pada kondisi saling mencegah atau mutual deterrence. “thus far the chief purpose of our military establishment has been to win wars. From now on its chief purpose must be to avert them” (Brodie, dalam Mahnken & Maiolo, 2008:181). Lebih lanjut, menurut Elinor C. Sloan (2012) perkembangan nuklir juga menambahkan ranah baru pada penggunaan power di militer. Tidak seperti seapower, landpower, airpower, dan bahkan cyberwar, di mana dapat terlihat the actual conduct of war. Di ranah tenaga nuklir, beroperasi sepenuhnya secara abstrak, hanya pada lingkup teoritis (Sloan, 2012:100). Lawrence Freedman (1986, dalam Sloan, 2012:100) menyebutkan para ahli strategi nuklir Perang Dingin, studi kekuataan dan strategi nuklir adalah studi tentang the “non-use” of these weapons.
            Menurut Collin S. Gray (1999) senjata nuklir telah membantu menjaga perdamaian. Persaingan senjata nuklir dianggap sebagai the equivalent of war (Huntington, 1958 dalam Gray, 1999:320). Colin S. Gray (1999) menyatakan bahwa strategi tetap hadir di tengah-tengah perkembangan senjata nuklir. Bahwa ada yang namanya Strategi Nuklir. Konsep utama dari strategi ini adalah deterrence. Meskipun senjata nuklir tidak memberikan dampak nyata pada tingkat taktis dan operasional langsung militer mengingat daya hancurnya, tapi senjata nuklir dapat bekerja langsung pada sumber tindakan yang sebenarnya dalam politik dunia, yaitu di benak para pembuat kebijakan (Gray, 1999:323). Lebih lanjut, Collin S. Gray (2007) menyebutkan bahwa “If nuclear weapons cannot serve political purposes as weapons in military use, they can certainly serve policy by the threat of their employment”. Kedua negara adidaya pada saat Perang Dingin mengakui bahwa penggunaan nuklir skala besar akan merugikan diri sendiri. Terlepas dari asumsi bahwa strategi nuklir adalah pengejaran sia-sia, hal itu merupakan kebutuhan yang tak terelakkan. Sebagaimana persenjataan nuklir tumbuh dari puluhan hingga ribuan, dan akhirnya ke puluhan ribu, Amerika Serikat dan Uni Soviet, diikuti oleh negara lain, maka pengembangan strategi nuklir harus dilakukan (Gray, 2007:211). Lebih lanjut, menurut Gray (2007) strategi-strategi harus disesuaikan dengan situasi geostrategis unik dari setiap negara. Serta, setiap negara membutuhkan perubahan yang konstan karena teknologi desain senjata dan pengiriman berevolusi.
           Dari apa yang sudah penulis paparkan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa strategi digunakan sebagai menjaga keamanan negara, bagaiamana negara mampu menjaga keamanan dan mendeteksi ancaman-ancaman yang ada. Secara bertahap senjata-senjata yang dimiliki oleh negara berkembang, sama halnya dengan ukuran-ukuran dari tentaranya. Perang semakin menjadi masalah mobilisasi nasional dan usaha profesional. Begitu senjata nuklir, senjata nuklir mulai mengalami revolusi dan perkembangan sejak tahun 1945 yang ditandai dengan perkembangan bom atomik. senjata nuklir ini tampaknya mematahkan hubungan antara means dan ends yang merupakan esensi penting dari strategi itu sendiri. Karena senjata ini terlalu kuat dan terlalu merusak jika digunakan untuk melayani setiap tujuan politik. Penulis beranggapan bahwa senjata nuklir memang benar memiliki signifikansi yang besar, namun penulis ragu akan nilai strategis yang dimiliki senjata nuklir ini. Hal ini beralasan karena penulis menganggap bahwa perang nuklir tidak akan terjadi mengikat besarnya daya hancur yang dimiliki senjata nuklir.

Referensi:
Gray, Colin S. 1999. Nuclear Weapons in Strategic History. Dalam: Modern Strategy. Oxford: Oxford University Press, pp. 319-353
Gray, Colin S. 2007. the Cold War II: the Nuclear Revolution. Dalam: War, Peace and International Relations: an Introduction to Strategic History. New York: Routledge, pp. 205-18
Klein, Bradley S. 1994. What Nuclear Revolution?. Dalam: Strategic Studies and World Order: the Global Politics of Deterrence. Cambridge: Cambridge University Press, pp. 39-80
Mahnken Thomas G & Maiolo, Joseph A. 2008. Strategic Studies. New York: Routledge.
Sloan, Elinor C. 2012. Modern Military Strategy. New York: Routledge.