Thursday, June 29, 2017

There is an old Indian story: “On my shoulders are two wolves. One is a black wolf, evil, who
continually tempts me to do and say the wrong things. On my other shoulder is a white wolf that
continually encourages me to live up to my very best.”



A listener asked the old man, “Which of these wolves has the greatest power over you?”





The old man replied, “The one I feed.”

Tuesday, June 20, 2017

Budaya dan Identitas dalam Globalisasi


Sumber Gambar: google
Globalisasi pada masa saat ini memberikan signifikansi yang besar terhadap dunia khususnya negara. Banyak aspek yang telah terpengaruh oleh globalisasi. Saat ini kehidupan sosial mengalami perubahan yang cepat di mana capital, teknologi, masyarakat, ide-ide, informasi bergerak tanpa henti. Tak terkecuali pada bidang budaya. Masuknya globalisasi pada bidang budaya ini sedikit banyaknya memberikan beberapa perubahan yang ada. Muncul pula beberapa isu-isu yang diakibatkan oleh globalisasi. Globalisasi telah dikaitkan dengan berbagai konsekuensi budaya yang ada. Robert Holton (2000) seorang professor dalam bidang sosiologi membenarkan hal tersebut dan menyatakan bahwa konsekuensi-konsekuensi tersebut dapat dianalisa melalui 3 tesis utama: homogenisasi, polarisasi, dan hibridisasi. Penulis akan lebih mengkaji mengenai 3 tesis yang diajukan oleh Robert Holton dengan kaitannya budaya dalam globalisasi.
Robert Holton (2000) dalam tulisannya berjudul Globalization’s Cultural Consequences memberikan 3 tesis utama dalam menganalisa konsekuensi budaya dalam globalisasi, yaitu Homogenisasi, yang mana mengarahkan pada konvergensi budaya atau pemusatan budaya, yang menyatakan bahwa budaya global distandarisasi pada seputaran pola Barat atau Amerika. Namun, budaya, tampaknya, lebih sulit untuk distandarisasi daripada organisasi ekonomi dan teknologi (Holton, 2000:140). Dan kehadiran alternatif budaya dan ketahanan terhadap norma-norma Barat menunjukkan bahwa Polarisasi memberikan gambaran yang lebih meyakinkan mengenai perkembangan budaya global. Tesis ini menempatkan perang budaya di antara globalisasi barat dan lawannya. Sementara Hibridisasi berargumen bahwa budaya meminjam dan menggabungkan elemen-elemen dari satu sama lain, menciptakan bentuk hibrida, atau perpaduan (Holton, 2000:140). Globalisasi mendorong campuran dari kumpulan berbagai macam budaya yang tersedia melalui pertukaran lintas-perbatasan.
Lebih lanjut, menurut Robert Holton (2000), dalam homogenisasi, globalisasi dan budaya dipercaya dalam suatu konvergensi atau pemusatan ke arah seperangkat praktik dan ciri-ciri budaya. Penggunaan istilah “Coca-colonization” atau “McDonaldization” mencerminkan budaya global mengikuti ekonomi global. Bahkan, Homogenisasi setara dengan Westernization atau bahkan Amerikanisasi (Holton, 2000:142). Terbentuknya suatu konsumen global yang berdasarkan pada tidak hanya pada kenyamanan produk global tetapi juga pada penjualan suatu impian mengenai kemakmuran, kesuksesan pribadi, dan kepuasan yang dibangkitkan melalui iklan dan industri budaya Hollywood. Ini menandakan adanya pembentukan konsumen global melalui strategi pemasaran massa. Selain itu, Robert Holton (2000) menambahkan pengembangan budaya global tidak hanya didorong oleh strategi pemasaran massa tetapi juga melalui munculnya dan kepentingan elit global yang lintas-nasional. Namun, menurut Arjun Appadurai (1990 dalam Holton, 2000:144) ancaman budaya di banyak negara sering dianggap bukan hanya Amerikanisasi. Lalu mengenai tesis Polarisasi, tesis ini menyatakan budaya lebih sulit untuk mengglobal dibandingkan aktivitas politik atau ekonomi. Dalam tesis ini, budaya dibagi menjadi dua yang dibentuk antara Barat dan non-Barat. Non-Barat biasa disebut sebagai the Orient atau Timur. Sebagai contoh, dunia Middle Eastern Islamic disebut sebagai Oriental oleh banyak orang Barat seperti novelis, pelukis, penjelajah dan sebagainya. Timur tipikalnya dilihat sebagai stagnan dan tidak berubah, atau erotis, atau otoriter sementara Barat dibentuk seperti dinamis, berinovasi, rasional dan toleransi (Holton, 2000:145). Dalam hal ini, budaya global disajikan dari segi konflik antara dua stereotipe budaya yang bertentangan. Benjamin Barber (1995 dalam Holton, 2000:146) mengkarakteristikkan polarisasi budaya global menjadi konflik antara McWorld dan Jihad. McWorld maksudnya adalah kombinasi anara fast food (McDonald’s), fast music (MTV) dan fast computers (Apple) yang mengikat semua orang melalui konsumsi produksi budaya terkomodifikasi, sementara Jihad dimaksudkan sebagai upaya fundamentalisme dan tribalisme budaya yang menjanjikan pembebasan moral dari kekayaan melalui mobilisasi politik kemasyarakatan dalam mengejar keadilan.
 Sementara itu tesis yang terakhir adalah Hibridisasi, yang memusatkan pada pertukaran budaya dan penggabungan unsur-unsur budaya dari berbagai sumber dalam praktik budaya tertentu (Holton, 2000:148). Meskipun tesis homogenisasi dan polarisasi memberikan signifikansi yang besar, namun keduanya tidak menyelesaikan unsur multidimensi yang kompleks yang membentuk budaya global. Kesempatan untuk pertukaran budaya terbuka tidak hanya melalui micro-interactions dari perkawinan namun juga kontak budaya antara orang-orang dari latar belakang budaya yang berbeda. Pertukaran budaya terjadi pada wilayah agama, budaya, politik, bahkan musik (Holton, 2000:149). Banyak aktor-aktor seperti diplomat, jurnalis, pebisnis, birokrat, yang disebut-sebut sebagai kelompok kerja yang semakin terlibat dalam lebih dari satu latar belakang budaya. Dalam hal ini, Hibridisasi memberikan ide bahwa budaya telah menjadi begitu bercampur dan tidak ada lagi budaya asli atau murni yang berbeda dari satu sama lain. Bahwa Holton beranggapan akan sulit menjawab mengenai pertanyaan yang bersinggungan dengan konsekuensi budaya di dalam globalisasi. Richard Holton memandang hal ini dikarenakan kegagalan teori-teori besar dalam menjelaskan perbedaan dan kerumitan dari perkembangan budaya global. Holton menambahkan bahwa pandangan Hibridisasi merupakan koreksi dari dua tesis lainnya, karena pandangan tersebut mampu mencakup second level dari kompleksitas.
Penulis setuju dengan Richard Holton bahwa akan sulit menjawab mengenai pertanyaan yang bersinggungan dengan konsekuensi budaya di dalam globalisasi. Dan memandang Hibridisasi merupakan koreksi dari dua tesis sebelumnya yaitu Homogenisasi dan Polarisasi. Jika diambil contoh adalah Jakarta Jazz Festival. Itu merupakan festival musik Jazz yang menampilkan musisi jazz dari seluruh penjuru dunia. Ini menandakan bahwa adanya perpaduan budaya dari berbagai negara yang menyatu di dalam suatu jenis music, yaitu jazz. Dari apa yang sudah penulis paparkan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa globalisasi pada masa saat ini memberikan signifikansi yang besar terhadap dunia khususnya negara. Banyak aspek yang telah terpengaruh oleh globalisasi. Saat ini kehidupan sosial mengalami perubahan yang cepat di mana capital, teknologi, masyarakat, ide-ide, informasi bergerak tanpa henti. Tak terkecuali pada bidang budaya. Masuknya globalisasi pada bidang budaya ini sedikit banyaknya memberikan beberapa perubahan yang ada. Muncul pula beberapa isu-isu yang diakibatkan oleh globalisasi. Konsekuensi-konsekuensi tersebut dapat dianalisa melalui 3 tesis utama: homogenisasi, polarisasi, dan hibridisasi.

Referensi:

Holton, Richard. 2000. Globalization’s Cultural Consequences. Dalam: Annals of the American Academy of Political and Social Science, Vol. 570, Dimension of Globalization. (Jul., 2000), pp.140-52

Strategi Perang: Klasikal Sun Tzu “Art of War”

Sumber Gambar: Google
Pembahasan strategi dalam ranah militer dan perang bertumpu pada logika yang dimengerti secara universal dan valid sepanjang lini waktu di manapun. Bagian awal artikel Thomas G. Mahnken “Strategic Theory” (2007: 67) menyebut penyebab perang adalah human nature yang menjadi ulasan umum pendorong adanya fenomena perang sejak manusia hidup beribu tahun yang lalu hingga saat ini. Menjadi penting kemudian teori strategi perang memposisikan gambaran umum logic of strategy, yang bertumpu pada “bagaimanan untuk memenangkan perang”. Beberapa yang erat kaitannya dengan teori strategi dalam ranah militer banyak dipengaruhi oleh pemikiran klasikal Sun Tzu dan modern Clausewitz (Mahnken, 2007: 71). Keduanya menjadikan perang sebagai upaya untuk mencapai kepentingan. Menyangkut perang sebagai a matter of vital importance to the state, strategi kemudian dibutuhkan sebagai analisator dan kalkulasi cermat dari political goals, assessing one’s comparative advantage relative to the enemy, calculating costs and benefits carefully, and examining the risks and rewards of alternative strategies (Mahnken, 2007: 69). Meskipun Sun Tzu dan Clausewiz menekankan perang sebagai instrumental pencapaian tujuan, keduanya memiliki akar pemikiran yang berbeda. Sun Tzu menekankan pada keberhasilan pencapaian sesuatu (utamnya oleh negara) diupayakan pada bukan jalan perang, sementara Clausewitz memilih perang sebagai upaya perwujudan kepentingan-kepentingan politik yang dijalankan dalam total war. Atau dalam kata lain, perang didefinisikan oleh Clausewitz sebagai bentuk nyata yang logis. Lebih lanjut, Sun Tzu dalam Art of War (1963: 93) lebih menekankan pada moralitas dan psikologi musuh, penyerangan terhadap strategi yang diupayakan dengan persiapan analisis dan kalkulasi yang cermat melalui intelejen sebelumnya, serta mengenalkan “kapabilitas posisi kita dan lawan”, termasuk fokus pada kelemahan-kelemahan lawan. Pada kesempatan kali ini, penulis akan memaparkan pemikiran-pemikiran klasikal Sun Tzu terhadap perang, pola penyerangan, dan startegi-strategi untuk mengalahkan lawan. Dari penulisan ini, diharapkan akan muncul kemudian pemahaman terkait pola-pola fondasi strategi dalam memenangkan lawan.
“Jika kamu mengenal musuhmu dan dirimu sendiri, kamu tidak perlu takut akan hasil dari 100 pertempuran. Jika kamu mengenal dirimu sendiri tanpa mengenal musuhmu, maka setiap kemenangan yang kamu peroleh akan disertai pula dengan penderitaan. Jika kamu tidak mengenal musuhmu dan dirimu sendiri, maka kamu akan menderita kekalahan dalam setiap pertempuran’’ (Sun Tzu, dalam Weru, t.t: 15).
Pemikiran-Pemikiran Sun Tzu yang Berbeda
“Sun Tzu, for his part, remainds us that victory does not always require the physical destruction of an adversary. He also highlights the importance of intellegence” (Mahnken, 2007: 80).
            Pemahaman Sun Tzu terhadap perang secara signifikan berbeda degan Clausewitz. Sun Tzu lebih menekankan pada upaya pencapaian kemenangan ideal adalah tanpa bloodshed (Mahnken, 2007: 76). Lebih lanjut Sun Tzu menulis dalam Art of War (1963), “to subdue the enemy without fighting is the acme of skill”, ia kemudian menyatakan most successful strategies dalam mengalahkan musuh adalah dengan penyerangan psikologis lawan dan pengunaan trik-trik penipuan (Mahnken, 2007: 77). Mengingat perang adalah bentuk pencarian terhadap keunggulan komparatif, maka perang ditilik oleh Sun Tzu, bukan hanya sekedar menghancurkan militer musuh, tetapi bagaimana untuk menghentikan keinginan untuk berperang. Di sinilah Clausewitz, seorang jendral perang abad 19an asal Prusia skeptis terhadap pemikiran Sun Tzu, Clausewitz lebih menekankan bahwa war is ultimately about killing and dying, oleh karenanya ia mempercayai perang sebagai kontes pergulatan antara militer, sebagai instrumen politik, dan bentuk aktivitas sosial (Mahnken, 2007: 71-2). Perbedaan ini tentu memberikan gambaran yang lebih beragam terhadap susunan strategi perang yang banyak diilhami oleh militer-militer dan bahkan kelompok-kelompok kepentingan pengguna instrumen perang saat ini.
“Whereas Clausewitz writes that destroying the enemy’s army is most often the key to victory in war, Sun Tzu recommends that the best alternative is to attack the enemy’s strategy. The next best alternatives is to attack the opponent’s alliances. Destroying the enemy’s army ranks third on his list of preffered strategies” (Mahnken, 2007:77).
Strategi berperan sebagai alat yang digunakan untuk menganalisa opsi dan pemilahan prioritas dalam perumusan yang diwujudkan dalam aksi-aksi yang koheren (Susanto, 2015). Dalam hal ini, seorang strategis harus mampu mendiagnosa pertimbangan dan analisa, sebagai langkah untuk mencapai tujuan-tujuan yang dikehendaki.  Berangkat dari pemahaman tersebut, Sun Tzu memberikan gambaran kunci untuk memenangkan perang sebagai upaya bertahan (survive) negara adalah dengan mengetahui kapabilitas, posisi, dan kondisi baik lawan maupun diri sendiri. Proses analisa tersebut akan menjadi sulit akibat banyak ditemui imperfect information, ethnocentrisms, and mirror-imaging. Oleh karena itu, dalam proses analisis yang cermat diperlukan adanya intelegensia (Tzu, 1963). Sebagai seorang yang optimistic dalam memandang keberadaan intelejen, Sun Tzu mempercayai bahwa hasil perang dapat diketahui apabila pemimpin memiliki pemikiran dan anlisis kalkulasi situasi keseluruhan (Mahnken, 2007:77). Maka dari itu, Sun Tzu menekankan pentingnya kalkulasi dalam perencanaan utamanya analisis informasi kelemahan lawan.
Seni berperang ditentukan oleh lima faktor tetap yang harus dipertimbangkan di saat mennetukan sikap dalam menghadapi situasi lapangan yakni: (1) hukum moral, pendorong adanya hubungan baik antara rakyat dan penguasa, dan mendorong lahirnya kepatuhan-kepatuhan; (2) langit, merujuk pada situasi, musim, dan waktu; (3) bumi, kalkulasi jarak, ruang, dan ancaman-ancaman bahaya akibat bentuk medan; (4) pimpinan yang menegakkan kearifan, kejujuran, kebaikan, keberanian, dan ketelitian; (5) serta metode dan disiplin, pola-pola pengaturan pasukan, pemilihan jalur, dan masalah-masalah administratif (Sun Tzu dalam Weru, 1985:5). Hal-hal semacam ini, memberikan gambaran kepada pemimpin tentang hasil yang akan didapatkan. Dari analisis bentuk ini, diharapkan pergerakan dan taktik yang diterapkan merupakan sebuah hasil dari kalkulasi yang cermat, hal ini diupayakan agar terwujudnya kemenangan yang maksimal.
Secara umum terdapat lima hal yang perlu diperhatikan untuk mencapai kemenangan disebutkan Sun Tzu (dalam Weru, 1985: 15) yakni: (1) yang akan menang adalah dia yang mengetahui saat untuk menyerang dan saat untuk tidak melakukan penyerangan; (2) yang akan menang adalah dia yang mampu mengendalikan pasukan yang lebih besar ataupun pasukan yang lebih kecil daripada lawan; (3) yang akan menang adalah pasukan-pasukan yang disorong oleh semangat yang sama pada semua tingkat kepangkatan; (4) yang akan menang adalah dia yang mempersiapkan dirinya serta menunggu saat lawan tidak dalam keadaan siap; (5) serta yang akan menang adalah yang memiliki kemampuan militer dan tidak dirintangi oleh penguasa. Dalam bagian muslihat penyerbuan, Sun Tzu (dalam Weru, 1985: 13) memberikan gambaran bahwa dalam seni berperang panglima atau pemimpin perang harus dapat memegang kendali kepemimpinan. Lebih lanjut, Sun Tzu menekankan beberapa bentuk penyerangan seperti dengan mematahkan rencana-rencana musuh, mencegah pasukan musuh membentuk aliansi, menggempur secara langsung musuh, serta langkah paling akhir diambil adalah mengepung kota-kota. Dalam hal ini, permainan terhadap pasukan musuh dengan lebih memilih menawan daripada menghancurkan adalah hal yang baik. Dengan demikian, pertempuran untuk mengalahkan dan menghancurkan bukanlah suatu cara yang ‘terpuji’, yang lebih tepat kemudian adalah menawan satu resimen, satu detasemen, atau bahakan satu kompi pasukan lawan yang ditujukan untuk memecah belah pertahanan lawan tanpa melakukan perkelahian (Sun Tzu dalam Weru, 1985: 13).
“Sun Tzu’s priority of war: the heighest form of warfare is to attack strategy itself, the next is to attack alliance, the next is to attack armies, and the lowest form of war to attack cities”.
Sebagai seorang filsuf yang hidup di masa dinasti Cina yang penuh dengan bentuk ikatan feodalisme kental, yang mana banyak interaksi ditekankan pada peperangan fisik, Sun Tzu memberi penilaian bentuk perang terbuka banyak menghasilkan outcomes destruktif. Oleh karenanya, Sun Tzu kemudian memberikan arahan mengenai startegi untuk memenangkan kompetisi, bahkan melalui perang tidak langsung. Lebih lanjut ia menekankan perang secara fisik sebagai alternatif terakhir (Sun Tzu dalam Weru, 1985: i). Meski menekankan pada perang non-fisik (win without war), bukan berarti pola-pola penyerangan kemudian dinafikkan, pemikiran Sun Tzu yang kemudian banyak diilhami adalah bagaimana peran jendral dalam menganalisa kemungkinan dan penyusunan strategi yang matang utamanya untuk menghancurkan strategi pergerakan musuh. Dalam hal ini, perang terbuka terjadi diupayakan saat kondisi terdesak.
Pengkategorian pemikiran Sun Tzu dalam klasikan strategi didasarkan pada rentang waktu. klasik ditekankan pada pemikiran yang mengacu pada kondisi sebelum adanya negara berdaulat, atau dalam kata lain otoritas pemerintahan masih dipegang oleh kerajaan-kerajaan. Sementara modern strategi seperti pemikiran Clausewitz ditekankan pada situasi adanya negara bangsa. Klasik dan modern strategi dibedakan secara jelas dalam analisis bukan hanya waktu, tetapi juga instrumen perang, cara perang, dan keterlibatan pemimpin. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengenai batasan klasik dan modern. Seperti penekanan yang telah dibahas pertemuan yang lalu, klasikal strategi didasarkan pada wisdom, idealism, dan filosofi, sementara modern strategi lebih kepada sistematika yang pasti. Strategi klasikal Sun Tzu telah memberikan gambaran manajemen sumber daya, pentingnya analisis, dan komando jendral cakap untuk berperang agar tidak memakan kerugian yang masif. Panglima perang oleh Sun Tzu (dalam Weru, 1985: 33) harus memperhatikan tentang mana jalan yang tidak boleh dilalui, pasukan yang tidak boleh diserang, kota-kota yang tidak boleh dikepung, posisi-posisi yang dirahasiakan, dan perintah-perintah penguasa yang tidak perlu dipatuhi. Pemimpin-pemimpin yang sadar akan keuntungan-keuntungan yang diperoleh dalam penggunaan berbagai macam taktik, mengetahui bagaimana menguasai pasukannya. Dalam menghadapi musuh, Sun Tzu juga menekankan adanya kesiapan yang selalu dijaga untuk menghadapi musuh. Sementara 5 hal fatal yang perlu dihindari oleh panglima perang adalah tindak gegabah, rasa takut, terburu nafsu, gila hormat, dan kekhawatiran yang berlebihan. Kelima bentuk ini akan menjadi penghancur dan bahkan alasan terbunuhnya panglima perang oleh pasukan lawan (Sun Tzu dalam Weru, 1985: 34). 
            Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pemahaman strategi perang oleh Sun Tzu terletak pada kemenangan yang didapat tanpa berperang secara total. Oleh karenanya, Sun Tzu kemudian lebih menekankan pada pematahan keinginan berperang dan penyerang terhadap strategi musuh. Dalam mengupayakan hal tersebut, adanya komando yang jelas dari pemimpin dan kepatuhan prajurit menjadi penentu keberhasilan mengalahkan lawan, selain kemudian adalah perlunya mata-mata sebagai pemberi informasi utuk kemudian diolah dan dianalisa secara cermat dalam merumuskan taktik dan strategi yang akan diterapkan. Buku Art of War yang ditulis Sun Tzu menjadi salah satu karya militer tertua di dunia. Ditulis sejak 2500 tahun yang lalu, buku ini masih sangat relevan dengan keadaan militer dewasa ini dalam hal mengorganisir cara berperang dan bertempur (Weru, 1985: i). Dalam tulisannya, Sun Tzu menekankan untuk menghindari pertempuran kecuali bila semua hal sudah dipertimbangkan dengan sebaik-baiknya. Mengenalkan metode langsung dan tak langsung dalam mencapai kemenangan, cara pengelola instrumen militer, penggunaan mata-mata dan penerapan taktik pengelabuan untuk menyesatkan lawan, banyak dìbahas dalam bukunya. Mempelajari pola-pola strategi, taktik penyerangan, perencanaan yang didukung intelejen, serta membangun kepercayaan, kecermatan, dan manajemen yang baik kemudian menjadi sangat penting menurut penulis. Mengingat pemikiran-pemikiran Sun Tzu berbentuk seperti ‘nasihat-nasihat’, logic of strategy, menjadi sangat aplikatif kemudian dapat dijadikan tuntunan atau pedoman dasar serta pengayaan utamanya bagi jendral perang dan bahkan manajemen tingat tinggi, hal ini karena dasar-dasar Sun Tzu sesungguhnya dapat disesuaikan dengan berbagai fenomena yang ada dewasa ini.

Referensi :
B. Weru, Caspar. 1985. Berkenalan dengan Ahli Strategi Militer Cina Klasik Soen Tzu. Jakarta: Intermedia.
Mahnken, Thomas G. 2007. Strategic Theory. dalam: John Baylis et. al. (ed.), Strategy in the Contemporary World. Oxford: Oxfor University Press, pp. 66-81
Tzu, Sun. 1998. The Art of War. dalam: Wordworth Classic of World Literature, pp. 10-53.

Susanto, Joko. 2015. Kuliah Strategi dan Tata Kelola Strategi: What is Strategy. Mata Kuliah STKS Universitas Airlangga. Disampaikan pada Maret 2015.