Friday, July 19, 2019

Pengaruh Atribut Nasional Rusia Terhadap Pengambilan Kebijakan Luar Negeri Terkait Aneksasi Krimea tahun 2014


Sejak lama Semenanjung Krimea atau Krimea merupakan bagian dari Rusia yang kemudian pada tahun 1954 secara resmi dipindah menjadi bagian wilayah negara Ukrania dalam pimpinan Nikita Khrushchev yang merupakan First Secretary dari Partai Komunis Uni Soviet (Deliagin, 2015:4). Hingga beberapa dekade terakhir, tahun 2014 menjadi tahun yang penting bagi konstelasi perpolitikan internasional di Eropa karena pada tahun tersebut terjadi peristiwa yang dapat disebut ‘mengejutkan’ bagi aktor-aktor internasional khususnya di Eropa, yaitu adanya aneksasi yang dilakukan oleh Rusia terhadap Krimea pada 18 Maret 2014 (deliagin, 2015:3). Secara singkat, aneksasi yang dilakukan oleh Rusia tersebut diawali dengan krisis yang terjadi di Ukraina. Krisis tersebut bermula saat presiden Ukraina saat itu yakni Viktor F. Yanukovych mundur dari penandatanganan Association Agreement (AA) dengan Uni Eropa pada November 2013 yang telah dinegosiasikan selama beberapa tahun.

Terdapat dua pendapat di dalam masyarakat Ukraina dalam memandang mundurnya Ukraina dalam penandatanganan AA dengan Uni Eropa tersebut. Di satu sisi, AA dianggap sebagai simbol harapan bagi masyarakat Ukraina yang bermimpi adanya integrasi dengan Uni Eropa (yang direpresentasikan di wilayah tengah dan barat Ukraina), di sisi lainnya mundurnya Ukraina dalam penandatangan tersebut disambut baik oleh masyarakat Ukraina yang berkeinginan untuk menjaga hubungan dekat dengan Rusia (yang direpresentasikan di wilayah selatan dan timur Ukraina) (Menon & Rumer, 2015:x). Dengan adanya perbedaan pendapat di dalam masyarakat Ukraina, sikap yang diambil oleh Presiden Yanukovych tersebut kemudian menimbulkan demonstrasi protes atas pengambilan sikap tersebut di wilayah Kyiv pusat sekitar alun-alun Maidan. Gerakan protes tersebut kemudian dikenal dengan istilah Euromaidan yang menginginkan adanya hubungan dekat antara Ukraina dengan Uni Eropa (Biersack & O’Lear, 2014:248). Sesaat setelah terjadinya protes, presiden Yanukovych mengambil langkah yang asertif dan cenderung mengarah kekerasan dengan menurunkan polisi anti huru hara dan penembak jitu guna meredam protes tersebut. Langkah yang diambil pemerintah Ukraina pada saat itu malah memperbesar aksi tersebut dan bahkan hingga bulan Februari setidaknya 100 orang meninggal. Hal ini kemudian membuat presiden Yanukovych pada 21 Februari menjanjikan adanya reformasi di dalam Ukraina dan penandatangan AA dengan Uni Eropa (Biersack & O’Lear, 2014:248).

Yanukovych juga menandatangani pakta dengan pemimpin-pemimpin revousi yang dimediasi oleh utusan Uni Eropa. Pakta tersebut mencakup pembentukan pemerintahan “persatuan nasional” dalam 10 hari, pemangkasan kekuatan presiden, memulihkan konstitusi 2004 serta mengadakan pemilihan umum lebih awal di bawah panduan baru pada akhir tahun nanti. Aksi tersebut disambut baik oleh pemimpin-pemimpin di Uni Eropa dan Amerika (Menon & Rumer, 2015:x). Pemerintahan Rusia beserta dengan media-media yang ada di Rusia kemudian memandang bahwa Ukraina telah menjadi boneka-boneka dari Uni Eropa dan Amerika. Dengan dukungan Amerika dan Uni Eropa di dalam revolusi yang terjadi di Ukraina, menjadikan Ukraina sebagai “medan perang” geopolitik bagi Rusia dengan Barat (Biersack & O’Lear, 2014:248). Pemerintahan Rusia juga menyebutkan bahwa kelompok-kelompok neo-Nazi dan sayap kanan akan melakukan tindak kekerasan terhadap etnis Rusia dan penutur bahasa Rusia di Ukraina karena revolusi serta beberapa peran di pemerintahan Ukraina diduduki oleh anggota kelompok sayap kanan yang kemudian dapat mengancam Rusia (Biersack & O’Lear, 2014:248).

Dengan kekacauan yang ada di dalam tubuh Ukraina, pemerintahan Rusia menegaskan kepentingannya di dalam Ukraina dengan menempatkan bala tentaranya di semananjung Krimea yang merupakan wilayah Ukraina dengan populasi dan penutur bahasa Rusia terbanyak. Di dalam wilayah Krimea sendiri, dengan kehadiran militer Rusia, parlemen republik Krimea meminta otonomi yang lebih luas hingga meminta kemerdekaan dari Ukraina (Biersack & O’Lear, 2014:251). Lebih lanjut, aksi Rusia dalam mengembangkan upaya suksesi dan aneksasi tersebut melanggar Memorandum Budapest tahun 1994, perjanjian yang menjamin bahwa Rusia, bersama dengan Amerika Serikat dan Inggris, akan menghormati kemerdekaan dan kedaulatan yang berada di wilayah Ukraina serta menahan diri untuk menggunakan ancaman atau kekerasan terhadap integritas teritorial dan kemerdekaan politik Ukraina sebagai ganti bahwa Ukraina akan berhenti mengembangkan senjata nuklirnya (Biersack & O’Lear, 2014:251).

Dari latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, muncul pertanyaan yang menjadi sentral dalam artikel ini, yaitu mengapa Rusia melakukan aneksasi terhadap Krimea pada tahun 2014? Meskipun aksi tersebut melanggar Memorandum Budapest tahun 1994 yang menjamin bahwa Rusia akan menghormati kemerdekaan dan kedaulatan yang berada di wilayah Ukraina serta menahan diri untuk menggunakan ancaman atau kekerasan terhadap integritas teritorial dan kemerdekaan politik Ukraina. Apa yang kemudian mendasari pengambilan kebijakan luar negeri Rusia terkait aneksasinya di wilayah Ukraina tersebut?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis menggunakan beberapa konsep dan teori mengenai kebijakan luar negeri. Sebelum membahas lebih jauh, mendefinisikan kebijakan luar negeri dianggap langkah yang tepat untuk diambil saat ini. Kebijakan luar negeri diartikan oleh Charles Hermann (dalam Neack, 2008:9) sebagai tindakan-tindakan yang memiliki tujuan yang berasal dari keputusan politis di tingkat individu maupun sekelompok individu. Hermann tidak melihat kebijakan luar negeri sebagai sebuah keputusan melainkan sebagai a product of decision. Deborah Gerner (dalam Neack, 2008:9) mengartikan kebijakan luar negeri sebagai intensi, pernyataan, serta tindakan dari seorang aktor, biasanya negara, yang diarahkan pada dunia luar dan respon aktor lain terhadap hal tersebut. Selain itu, George Modelski (1962) mengartikan kebijakan luar negeri sebagai “the system of activities evolved by communities for changing the behaviour of other states and for adjusting their own activities to the international environment”. Penulis kemudian mengambil benang merah dari pendapat-pendapat sebelumnya bahwa kebijakan luar negeri dapat diartikan sebagai sebuah intensi, pernyataan, dan tindakan yang diambil oleh negara dengan tujuan tertentu baik dalam hubungannya dengan negara atau aktor lain maupun penyesuaiannya dengan lingkungan internasional.

Dalam memahami kebijakan luar negeri, dikenal konsep Tingkat Analisis atau Level of Analysis (LoA). LoA dimaknai sebagai sebuah alat heuristik, layaknya sebuah lensa kamera dalam memandang suatu kasus. Setiap tingkat analisis memberikan masing-masing pemahaman khusus mengenai suatu kasus yang kemudian pemahaman tersebut bisa saja memberikan pemahaman cukup bagi kasus yang diteliti namun juga bisa saja tidak akan mempertimbangkan atau memberikan informasi lain yang hanya dapat ditemui dengan menggunakan tingkatan yang lain (Neack, 2008:11). Hal ini berarti jika seorang peneliti memilih untuk menggunakan satu tingkatan dalam LoA, maka peneliti tersebut hanya akan menemui informasi yang diberikan tingkatan itu saja tanpa mendapatkan informasi dari tingkatan yang lain.

LoA memiliki beberapa 3 tingkatan yakni (1) individu, yang berfokus pada kepribadian, kepercayaan, persepsi dari pemimpin dan para pembuat kebijakan; (2) negara, yang berfokus pada faktor internal negara seperti kerangka institusinya, kelompok kepentingan, opini publik, kondisi ekonomi, budaya dan sejarah negara tersebut;  dan (3) sistem, yang menaruh perhatian khusus terhadap interaksi antar negara di ranah internasional yang diarahkan oleh kapabilitas relatif negara-negara tersebut, seperti power dalam teknologi dan kekuatan militer serta kekayaan yang kemudian akan memengaruhi kemungkinan-kemungkinan dalam bertindak dalam panggung global (Breuning, 2007:11-3). Dalam kasus aneksasi Rusia terhadap Krimea pada tahu 2014, penulis akan menggunakan analisis bagaimana kapabilitas atau atribut nasional yang dimiliki oleh Rusia dapat memengaruhi pengambilan tindakan yang dipilih oleh Rusia.

Kapabilitas atau atribut suatu negara memberikan batasan-batasan serta dorongan bagi negara dalam melakukan kebijakan, perilaku negara dapat lebih akurat diprediksi melalui pengetahuan tentang atribut fisik yang dimiliki negara tersebut dan yang dimiliki negara lain yang berinteraksi dengan negara tersebut (Lebovic, 1985:47). Atribut nasional merupakan aset-aset yang dapat diukur sebagai indikator kekuatan potensial suatu negara. Atribut nasional ini mencakup ukuran, lokasi geografi, kemampuan militer, kemampuan ekonomi hingga sistem pemerintahan (Kegley & Blanton, 2011:216). Lebih jauh, ukuran dan lokasi geografi suatu negara merupakan bagian penting dari atribut nasional suatu negara. Ukuran dan posisi suatu negara dapat dilihat dan diukur dengan seberapa besar luas wilayah negara tersebut dan berada di wilayah seperti apa negara tersebut. Apakah negara tersebut berada di wilayah yang memiliki lautan atau sebagai negara yang hanya memiliki daratan atau landlock. Selain itu, mengetahui berbatasan dengan apa saja negara tersebut juga menjadi perhatian khusus bagi para pengambil kebijakan. Negara dengan ukuran kecil yang dikelilingi oleh negara-negara berukuran besar akan cenderung untuk bertindak lebih bersahabat dengan negara tetangganya. Letak geografis juga berhubungan dengan sumberdaya yang dimiliki oleh negara tersebut. Bagaimana sumber daya yang dimiliki oleh suatu negara dapat memengaruhi sikap yang diambil oleh negara tersebut di ranah internasional. Kemudian, kemampuan militer dapat diukur dengan jumlah kepemilikan suatu negara terhadap senjata hingga sumber daya manusia dalam militer. Kepemilikan senjata seperti  rudal, tank, kapal, pesawat, dan sebagainya. Kemampuan militer dapat memberikan batasan maupun dukungan yang lebih kepada pemangku kebijakan dalam melakukan kebijakan luar negeri, kemampuan tersebut dapat membentuk prioritas kebijakan luar negeri suatu negara (Kegley & Blanton, 2011:219).

Kondisi ekonomi dapat diukur melalui tingkat perkembangan ekonomi dan industri suatu negara. Selain itu, kondisi ekonomi dapat diukur melalui tingkat produktivitas dan kesejahteraan negara yang bersangkutan. Secara umum, semakin berkembangnya negara secara ekonomi, semakin aktif pula negara tersebut dalam ekonomi politik global (Kegley & Blanton, 2011:220). Biasanya, kondisi ekonomi diukur dengan melihat Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita, The Human Development Index (HDI), hingga tikat literasi suatu negara. Selain itu, atribut nasional juga mencakup sistem pemerintahan yang dapat dilihat dari apakah negara tersebut menganut sistem demokrasi dan terbuka atau otoriter dan tertutup. Biasanya pengambilan kebijakan di dalam negara dengan sistem demokrasi akan memberikan pertimbangan yang lebih besar terhadap aktor lain di dalam domestik negara tersebut seperti kelompok kepentingan hingga opini publik. Sementara negara dengan sistem otoriter tertutup akan cenderung untuk lebih mempertimbangkan pilihan dari lingkaran elit saja.

Atribut-atribut disebut di atas dapat menjadi tolak ukur dalam menentukan bagaimana negara dapat disebut sebagai negara dengan great power, middle power, hingga small power. Dengan penggolongan negara menjadi tiga hal yang disebut sebelumnya, penggolongan tersebut akan memberikan negara kesempatan atau pembatasan untuk bertindak di dalam ranah internasional. Christopher Hill (2003) menyebutkan ada beberapa cara dalam mengartikan peran power atau atribut-atribut tersebut dalam kebijakan luar negeri, yakni as an end in itself, as a means to an end and as a context within which states operate. Oleh karena itu, para pembuat kebijakan akan melihat kekuatan yang dimiliki melalui atribut-atribut nasionalnya, yang kemudian akan dijadikan sebagai tujuan dari kebijakan luar negeri, maupun sebagai alat untuk mencapai tujuan tersebut. Pembuat kebijakan sangat menaruh perhatian terhadap kemampuan negaranya dan negara sekelilingnya serta negara-negara yang memiliki jarak yang cukup jauh namun memiliki hubungan yang aktif dengan negara tersebut. Informasi mengenai kemampuan negara sendiri maupun negara lainnya di dunia menjadi panduan terbaik dalam bermain di politik internasional. Hal ini karena atribut nasional suatu negara menggambarkan berbagai kemungkinan tindakan kebijakan luar negeri (Breuning, 2007:153).

Hipotesis yang kemudian dapat diajukan adalah kebijakan aneksasi yang dilakukan oleh Rusia terhadap Krimea pada tahun 2014 dikarenakan karena Rusia memiliki atribut nasional yang menggerakkan Rusia untuk melakukan kebijakan tersebut. Kekhasan atribut nasional yang dimiliki oleh Rusia menjadi alat untuk menggerakkan tujuan dari kebijakan luar negeri Rusia. Selain itu, atribut nasional Rusia juga dapat dijadikan sebagai tujuan itu sendiri maupun dijadikan sebagai konteks dalam beroperasinya Rusia dalam ranah internasional.

Tulisan ini dibagi menjadi beberapa bagian. Bagian pertama berisi gambaran singkat mengenai sejarah perkembangan krisis di Ukraina yang kemudian berujung pada aneksasi Krimea oleh Rusia yang kemudian menjadi sentral permasalahan yang diangkat pada artikel ini. Bagian pertama ini juga berisi kerangka pemikiran yang akan digunakan dalam analisis ini. Bagian kedua artikel berisikan mengenai kekhasan atribut nasional yang dimiliki oleh Rusia. Bagian ketiga artikel berisikan analisis bagaimana kekhasan atribut nasional Rusia memengaruhi Rusia dalam mengambil kebijakan untuk menganeksasi Krimea di tahun 2014. Di bagian akhir, tulisan ini mencoba memberikan simpulan mengenai permasalahan yang telah diangkat.

Kekhasan Atribut Nasional yang Dimiliki oleh Rusia
Berdasarkan pada Charles W. Kegley dan Shannon L. Blanton (2011:216) Atribut nasional mencakup ukuran, lokasi geografi, kemampuan militer, kemampuan ekonomi hingga sistem pemerintahan. Atribut nasional tersebut menjadi tolak ukur dalam menentukan atau dalam melihat kekuatan suatu negara yang kemudian dapat menjadi bahan pertimbangan penting dalam menentukan kebijakan luar negeri suatu negara. Jika dalam bagian pertama artikel ini telah dijelaskan secara singkat bagaimana atribut-atribut tersebut dapat diukur, kemudian pada bagian ini penulis akan mencoba untuk melihat atribut-atribut tersebut dalam negara Rusia. Penulis akan berfokus pada sebagian dari atribut nasional yang dirasa menjadi kekhasan yang dimiliki oleh Rusia saat ini yaitu ukuran, lokasi geografi, dan kemampuan militer. Dengan luas wilayah sebesar 17,075,200 km2, menjadikan Rusia sebagai negara terluas di dunia. Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1, terlihat bagaimana luasnya Rusia di wilayah Eurasia, membentang sekitar 4.500 km dari utara ke selatan dan 9.000 km dari barat ke timur (Blinnikov, 2011:11). Wilayah Rusia merupakan 11.3% dari daratan dunia, berbatasan dengan 14 negara tetangga yakni Norwegia, dengan panjang perbatasan 196 km; Finlandia, 1,340 km; Estonia, 294 km; Latvia, 217 km; Lithuania (berbatasan dengan Oblast Kaliningrad), 280.5 km; Polandia (berbatasan Oblast Kaliningrad), 232 km; Belarusia, 959 km; Ukraina, 1,576 km; Georgia, 723 km; Azerbaijan, 284 km; Kazakhstan, 6,846 km; Tiongkok, 3,645 km; Mongolia, 3,485 km; dan  Korea Utara, 19 km (Blinnikov, 2011:77).

Gambar 1
(Sumber: Blinnikov, 2011:3)
Selain itu, dengan terletak di wilayah Eurasia, Rusia memiliki iklim yang cukup ekstrim. Ekstrim dalam artian bahwa ketika Rusia mengalami musim dingin, beberapa lokasi yang ada di Rusia memiliki temperatur suhu di bawah titik beku. Rusia memiliki rata-rata temperatur sekitar -10 hingga -15oc selama 3-5 bulan pada musim dingin, bahkan hingga di bawah -40oc pada bulan-bulan terdingin. Hal ini juga serupa terjadi pada musim panas, di mana Rusia dapat mengalami suhu udara yang cukup panas, sekitar lebih dari 350c (Blinnikov, 2011:23-7). Akses air oleh Rusia dapat diraih melalui wilayah Utara Rusia yaitu Samudera Arktik, meskipun samudera tersebut membeku hampir selama 6 bulan setiap tahun. Hal ini menyebabkan Rusia harus membangun warm water port di beberapa daerah yang airnya tidak membeku. Lebih lanjut, wilayah Rusia juga dikenal dengan penghasil sumber energi. Rusia dianggap sebagai negara resource-based development dengan sektor minyak sebagai penggerak pengembangan ekonominya. Perkembangan Rusia pasca-2000 sangat bergantung pada sumber daya alam yang dimiliki khususnya hidrokarbon (Ahrend, 2005:584). Hal ini beralasan, karena Rusia memiliki sumber energi hidrokarbon yang membuatnya mengandalkan sumber tersebut untuk menggerakkan perekonomian. Dari tahun 1998-2004, Rusia meningkatkan pemasokan minyak dunia sebesar 48 persen. Pada tahun 2007, Rusia telah memompa hingga 9.8 juta barel minyak per hari, sekitar 12 persen dari pemasokan global (Rutland, 2008:203).

Hingga saat ini, Rusia sangat bergantung kepada sumber daya alam yang dimiliki untuk menggerakkan roda pertumbuhan ekonominya. Hingga pada tahun 2015, ekspor Hidrokarbon antara 55 dan 75% dari total ekspor Rusia dalam satu tahun dan menghasilkan hingga 380 milyar USD pada pendapatan ekspor (Brashaw & Connolly, 2016:15). Selain pada hidrokarbon, Rusia juga menaruh perhatian pada sumber daya alam lainnya seperti batu bara. Produksi batu bara di Rusia telah berkembang dari 122 mtoe (million tons of oil equivalent atau setara juta ton minyak) pada tahun 2001 hingga mencapai lebih dari 165 mtoe pada tahun 2013 dengan nilai ekspor 2.7% dari total ekspor Rusia (Brashaw & Connolly, 2016:15).

Selain luas wilayah serta lokasi geografis, penulis mencoba untuk melihat atribut nasional Rusia dengan sisi yang lain. Salah satunya adalah kemampuan militer yang dimiliki oleh Rusia. Sejak tahun 2012, kekuatan bersenjata telah mengalami modernisasi di bawah Menteri Pertahan yang baru, yakni Sergey Shoygu. Meskipun keinginan untuk mereformasi kekuatan bersenjata secara komprehensif telah hadir sejak tahun 2008. Program modernisasi yang dibawa oleh Shoygu tersebut menjanjikan untuk menyalurkan dana sebesar 700 miliar dollar antara tahun 2011 hingga tahun 2020 guna meningkatkan semua persenjataan negara yang dimiliki seperti pembelian 2,300 tank, 600 pesawat tempur, 1,000 helikopter, 28 resimen dari  sistem pertahanan udara S-400 yang masing-masing memiliki 72 peluncur, 16 kapal selam, and 51 kapal tempur, serta sistem peralatan lainnya (Golts & Kofman, 2016:3). Sebagai negara yang memiliki luas wilayah yang besar, Rusia memiliki tanggung jawab lebih untuk menjaga kedaulatan negaranya. Rusia telah membeli persenjataan alat berat mulai dari peralatan strategis nuklir, kapal selam dan kapal laut, hingga pesawat tempur, pesawat tempur taktis, dan sejumlah sistem peperangan darat. Tingkat peralatan modern yang dimiliki Rusia telah meningkat dari 30 menjadi 47 persen, dan akan mencapai 50 persen pada akhir 2016 melalui State Armament Program 2011-20 atau Program Persenjataan Negara ini (Golts & Kofman, 2016:3).  Lebih lanjut, pada kekuatan darat, Rusia telah mengembangkan dan membeli model-model persenjataan yang baru. Telah terjadi peningkatan pada tank dan kendaraan lapis baja dengan peningkatan perlindungan dan mobilitas, rudal, dan sistem artileri dengan kemampuan penargetan presisi dan peperangan elektronik melalui sistem komunikasi yang lebih canggih (Klein, 2016:12).  

Pada kekuatan udara, telah terjadi modernisasi dalam sistem pesawat tempur dan sistem pertahanan udara. Salah satu contohnya adalah dengan datangnya pesawat tempur baru Sukhoi Su-34 pesawat tempur serangan dan Sukhoi Su-35 pesawat tempur multifungsi yang akan secara bertahap mengganti pesawat-pesawat yang lama seperti Su-24, Su-27, MiG-29, dan MiG-31 (Klein, 2016:12). moderniasi kekuatan udara Rusia ini meningkatkan secara signifikan kemampuan militer udara Rusia dalam hal kemampuan dalam mengunci target, manuver hingga jangkauan. Meskipun kerap memfokuskan kekuatan militer pada daratan, State Armament Program juga memfokuskan pada moderniasi kemampuan militer di laut. Peningkatan militer di bidang laut ini kemudian akan meningkatkan kemampuannya untuk pertahanan di pesisir, alat tempur pendukung, dan anti-area/ access denial operations di Laut Baltik, Laut Hitam, dan Laut Mediterania pada khususnya (Klein, 2016:12). Selain itu, Rusia juga berfokus pada modernisasi kekuatan nuklir yang dimiliki. The State Armament Program mencoba untuk melakukan pengaadan 400 rudal balistik antar benua atau intercontinental ballistic missiles (ICBMs, SLBMs) berbasis laut dan darat serta 8 kapal selam strategis atau strategic submarines (SSBNs). Pada 2022, diprediksikan semua ICBM bekas Soviet akan diganti dengan rudal yang baru. Pengembangan ini berdasarkan pada fakta bahwa Presiden Putin menggambarkan senjata nuklir sebagai “claws and teeth of the Russian bear”( Klein, 2016:11).

Beberapa atribut nasional Rusia yang telah disebut sebelumnya merupakan kekhasan yang dimiliki oleh Rusia saat ini. Penulis memandang bahwa dengan luas wilayah yang sangat besar sebesar 17,075,200 km2, membentang sekitar 4.500 km dari utara ke selatan dan 9.000 km dari barat ke timur, menjadikan Rusia sebagai negara terluas di dunia. Terletak di wilayah Eurasia, Rusia bukan tergolong ke negara landlocked, negara yang tidak berbatasan langsung dengan laut. Hal ini karena wilayah Rusia memiliki akses dengan Samudera Arktik. Meskipun demikian, dengan iklim yang cukup di negara tersebut, Samudera Arktik membeku hampir selama 6 bulan setiap tahun yang memaksa Rusia untuk membuat warm-water ports di wilayah lain. Ditambah dengan Rusia yang masih bergantung pada energi dalam menggerakkan roda ekonominya, wilayah geografis Rusia menjadi salah satu kekhasan bagi atribut nasional Rusia. Selain itu, saat ini Rusia tengah mengalami modernisasi dalam kemampuan militer yang dimiliki. Dengan program yang bernama State Armament Program 2020, Rusia tengah melakukan reformasi kekuatan bersenjata secara komprehensif. Dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan militernya, Rusia menyalurkan dana sebesar 700 miliar dollar hingga tahun 2020 pada anggaran pertahanannya. Hasil dari program tersebut telah terlihat dengan penambahan sejumlah anggota hingga peralatan bersenjata di wilayah darat, udara hingga laut.

Atribut Nasional Rusia dalam Aneksasi Krimea
Penulis kemudian melihat bahwa atribut nasional yang telah dijabarkan di bagian sebelumnya merupakan pendorong para pengambil kebijakan di Rusia untuk melakukan aneksasi Krimea pada tahun 2014. Pada 17 Maret 2014, presiden Rusia Vladimir Putin menandatangani peraturan presiden On Recognation of Crimea, lalu sehari setelahnya Putin mengindikasikan Rusia, the State Duma, dan the Federation Council bahwa institusi lokal Krimea telah mengajukan keinginan untuk bergabung dengan Rusia dan di hari yang sama bersama-sama dengan institusi lokal Krimea menandatangani kesepakatan tentang pengakuan masuknya Republik Krimea ke dalam Federasi Rusia (Grant, 2015:68). Presiden Obama menekankan bahwa Amerika Serikat tidak akan mengakui referendum Krimea dan memperingatkan bahwa Rusia akan mendapatkan sanksi atas tindakannya tersebut. Sanksi tersebut berupa sanksi ekonomi terhadap Rusia serta larangan perjalanan dan pembekuan aset pada beberapa pejabat Rusia (Kalb, 2015:162). Tindakan yang dilakukan oleh Rusia mendapatkan kecaman keras dari beberapa aktor internasional seperti Amerika Serikat hingga Uni Eropa. Rusia juga telah melanggar Memorandum Budapest tahun 1994 yang menjamin bahwa Rusia akan menghormati kemerdekaan dan kedaulatan yang berada di wilayah Ukraina serta menahan diri untuk menggunakan ancaman atau kekerasan terhadap integritas teritorial dan kemerdekaan politik Ukraina.
Penulis melihat bahwa faktor utama yang menyebabkan Rusia mengambil tindakan untuk menganeksasi Krimea adalah keinginan Rusia untuk mempertahankan Pelabuhan Sevastopol di semenanjung Krimea. Pelabuhan Sevastopol merupakan pelabuhan yang menjadi pangkalan angkatan laut Rusia di wilayah Laut Hitam. Pelabuhan Sevastopol tersebut memiliki pabrik desalinasi air laut yang memiliki kapasitas yang cukup untuk memasok air (Deliagin, 2015:14). Keberadaan angkatan laut di wilayah tersebut merupakan bagian dari perjanjian 1997 antara Ukraina dan Rusia yang memberikan izin untuk berada di wilayah Krimea hingga tahun 2017. Meskipun begitu, perjanjian tersebut diperbaharui melalui Kharkiv Accords untuk memperpanjang izin tersebut hingga tahun 2042 (Biersack & O’Lear, 2014:256). Lebih lanjut, menurut Biersack dan O’Lear (2014:257) Laut Hitam merupakan wilayah kaya akan energi, kehadiran pangkalan angkatan laut Rusia di wilayah tersebut bukan bertujuan untuk pertahanan melainkan untuk masuk ke wilayah kaya energi tersebut. Dengan dilakukannya aneksasi terhadap Krimea, Rusia akan meningkatkan wilayah maritimnya dengan mendapatkan wilayah seluas 36,000 mil persegi yang mengelilingi Krimea. Kekayaan hidrokarbon yang dimiliki oleh Laut Hitam juga berdampak signifikan, Rusia akan mendapatkan kekayaan minyak dan gas yang terkandung di dalam Laut Hitam seperti yang terlihat pada Gambar 2.

Gambar 2
(Sumber: Biersack & O’Lear, 2014:259).
Jika ditilik pada Gambar 2, maka dapat dilihat bahwa jika Rusia melakukan aneksasi terhadap Krimea, maka Rusia akan mendapatkan sebagian wilayah di Laut Hitam yang dipercaya memiliki kandungan hidrokarbon yang besar. Selain itu, Sevastopol juga menjadi satu-satunya warm-water port Rusia di wilayah Laut Hitam (Srivastava, 2016:5). Warm-water port merupakan pelabuhan yang tidak membeku saat musim dingin, dibutuhkan oleh Rusia karena Rusia membutuhkan pelabuhan untuk melakukan perdagangan, dengan wilayah Samudera Arktik yang kerap membeku selama 6 bulan setiap tahun, warm water port dibutuhkan oleh Rusia. Rusia hanya memiliki tiga buah warm-water port yaitu di wilayah Pasifik (Vladivostok), Baltik (St. Petersburg) serta Laut Hitam (Krimea).

Keinginan untuk melakukan aneksasi terhadap Krimea kemudian dapat dipahami karena atribut nasional Rusia sebagai negara dengan wilayah negara yang memiliki ketergantungan terhadap energi. Seperti yang dijelaskan pada sebelumnya, ekspor Hidrokarbon yang dilakukan Rusia sebesar 55% hingga 75% dari total ekspor Rusia dalam satu tahun dan menghasilkan hingga 380 milyar USD pada pendapatan ekspor. Hal ini menandakan bahwa Rusia bergantung pada sumber daya yang ia miliki atau resource-based economy. Berdasarkan penjelasan Rudick Arhen (2005:592), negara dengan ketergantungan yang besar terhadap energi kemudian akan mendapatkan dampak negatif berupa terbatasnya energi yang tersedia. Dengan dampak negatif yang ditawarkan kepada negara resource-based economy seperti Rusia, aneksasi terhadap Krimea dengan akses yang lebih besar ke Laut Hitam menjadi opsi yang dapat diambil untuk menjaga ketersediaan energi Rusia. Selain itu, letak geografis Rusia didekat Samudera Arktik yang kerap membeku selama 6 bulan dalam setahun mengharuskan Rusia untuk mengamankan posisi geopolitiknya di wilayah Laut Hitam. Keberadaan warm-water port di wilayah Laut Hitam akan mengamankan Rusia dalam melakukan perdagangan tanpa harus terhalang oleh iklim ekstrim yang dimiliki oleh Rusia.
Hal lain yang perlu dijadikan perhatian adalah atribut nasional Rusia terkait kemampuan militer yang dimiliki. Penulis melihat bahwa kemampuan militer yang telah dimiliki Rusia saat itu menggerakkan keinginan Rusia untuk melakukan aneksasi terhadap Krimea. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan kekuatan militer sebagai strategi koersi atau paksaan pada fase awal krisis Ukraina (Bartles, 2014:46). Menurut Charles Bartles (2014:47) Rusia telah melakukan reformasi dalam kemampuan militer dengan meningkatkan anggaran pertahanannya dialokasikan untuk pembelian besar kendaraan, peralatan hingga perlatihan, kali pertama sejak era Soviet. Reformasi ini kemudian dapat dilihat pada aksi yang dilakukan Rusia dalam kasus Krimea dalam bentuk  munculnya peralatan, alat komunikasi, senjata hingga alat transportasi yang baru (Bartles, 2014:48). Rusia menempatkan para tentaranya yang dikenal dengan sebutan little green men di wilayah Krimea serta 40 kapal perang aktif di pangkalan Angkatan Laut di Sevastopol. Alih-alih melakukan serangan, keberadaan kapal perang Rusia di Krimea khususnya di daerah Sevastopol sebagai simbol pertahanan para penutur bahasa Rusia di sana (Biersack & O’lear, 2014:257).
Rusia juga telah mengganti kapal-kapal perang yang bersandar di Sevastopol dengan kapal-kapal yang baru. Reformasi kemampuan militer Rusia juga dapat dilihat dari kemampuan para tentara yang berada di wilayah Krimea. Tanpa melakukan kontak senjata, tentara Rusia berhasil mengisolasi tentara Ukraina dari komando dan kendali dari markas besar di Kiev dengan memotong kabel telepon, menganggu komunikasi dan melakukan cyber warfare. Kremlin melakukan upaya operasi rahasia guna mengendalikan dan menganeksasi Krimea dengan menggunakan pasukan khusus untuk mengambil alih unit militer Ukraina tanpa menjatuhkan satu orang korban (Karagaiannis, 2014:413-4). Upaya-upaya ini menggambarkan bagaimana reformasi yang berjalan di Rusia terhadap kemampuan militernya dapat berjalan dengan baik. Selain itu, bukti lain bagaimana peningkatan kemampuan militer Rusia menjadi dasar bagi Rusia dalam melakukan aneksasi di Krimea dapat digambarkan oleh Alexander Golts dan Michael Kofman (2016). Menurut Golts dan Kofman (2016:9) pengaruh peningkatan kemampuan militer Rusia terhadap aneksasi di Krimea tergambarkan melalui mobilitas, kesiapan dan kompetensi dari pasukan khusus yang telah dilatih melalui program reformasi di Rusia. Selain itu, Rusia juga telah meningkatkan kemampuan dalam teknologi perperangan seperti penggunaan pesawat tanpa awak hingga peralatan elektronik perang. Hal ini menandakan bahwa dengan reformasi kemampuan militer yang dilakukan oleh Rusia, aneksasi terhadap Krimea menjadi tujuan atau tindakan yang dapat dilakukan. Margarete Klein (2016:18) juga menyebutkan bahwa kemampuan militer Rusia memiliki peran yang siginifikan dalam aneksasi Krimea. Hal ini ditandai dengan penambahan jumlah pasukan hingga mencapai 90,000 buah di wilayah tersebut. Sehingga penulis melihat bahwa kemampuan militer Rusia memiliki peran penting dalam instrumen kebijakan luar negeri Rusia. Kemampuan militer Rusia menjadi means dalam mencapai tujuan yang diinginkan oleh Rusia, kemampuan militer tersebut memberikan opsi kemungkinan untuk melakukan aneksasi terhadap Krimea.
Kesimpulan
Seperti yang diutarakan oleh James Lebovic, kapabilitas atau atribut suatu negara memberikan batasan-batasan serta dorongan bagi negara dalam melakukan kebijakan. Pembuat kebijakan sangat menaruh perhatian terhadap kemampuan negaranya dan negara sekelilingnya serta negara-negara yang memiliki jarak yang cukup jauh namun memiliki hubungan yang aktif dengan negara tersebut. Informasi mengenai kemampuan negara sendiri maupun negara lainnya di dunia menjadi panduan terbaik dalam bermain di politik internasional. Kasus aneksasi Krimea oleh Rusia tahun 2014 menggambarkan hal tersebut dengan baik. Aneksasi Krimea yang dilakukan oleh Rusia digerakkan oleh atribut nasional dominan yang dimiliki Rusia, yakni letak geografis serta kemampuan militer. Secara geografis, Rusia memerlukan akses lebih luas ke wilayah Laut Hitam. Rusia merupakan negara dengan ketergantungan terhadap sumber daya yang besar, ketergantungan tersebut kemudian dapat berdampak negatif terhadap persedian sumber daya yang dimiliki oleh Rusia. Guna memenuhi hal tersebut, Rusia harus melakukan aneksasi terhadap Krimea karena Krimea menawarkan sumber daya yang lebih besar yang terkandung di dalam Laut Hitam. Selain itu, letak geografis Rusia juga memaksa Rusia untuk mengamankan warm-water port yang dimiliki. Lebih lanjut, kemampuan militer Rusia saat itu juga memegang peran penting dalam memberikan dorongan serta opsi untuk melakukan aneksasi terhadap Krimea. Setelah melakukan reformasi terhadap kemampuan militernya, Rusia kemudian mendapatkan opsi kemungkinan yang lebih besar untuk melakukan aneksasi.
Melalui kasus aneksasi Krimea yang dilakukan oleh Rusia pada tahun 2014. Penulis melihat bahwa atribut nasional memberikan kemungkinan-kemungkinan serta dorongan bagi para pembuat kebijakan untuk menjalankan kebijakan luar negerinya. Seperti yang telah diutarakan oleh Christopher Hill (2003) yang menyebutkan peran power atau atribut-atribut tersebut dalam kebijakan luar negeri adalah as an end in itself, as a means to an end and as a context within which states operate. Meskipun begitu, penulis juga tidak menutup kemungkinan adanya kekurangan dalam artikel ini. Penulis beranggapan bahwa kasus ini juga dapat dijelaskan secara terperinci dengan menggunakan tingkat yang berbeda seperti pemimpin dan identitas nasional. Penulis melihat bahwa presiden Putin memiliki peran penting dalam menentukan kebijakan tersebut serta adanya identitas nasional Rusia yang memiliki kedekatan historisis dengan wilayah Krimea. Dua hal tersebut yang luput dijelaskan melalui artikel ini. Namun demikian, penulis setuju bahwa kebijakan luar negeri suatu negara dapat digerakkan oleh atribut nasional negara tersebut.
Daftar Pustaka

Ahrend, Rudiger. 2005. Can Russia Break the “Resource Curse”? Dalam: Eurasian Geography and Economics, 46:8. London: Routledge, hlm. 584-609
Bartles, Charles. 2014. Russia’s Military Operation in Crimea Road-Testing Rapid Reaction Capabilities. Dalam: Problems of Post-Communism, vol. 61, no. 6, November–December 2014, hlm. 46–63
Biersack, John dan Shannon O’Lear. 2014. The geopolitics of Russia's annexation of Crimea: narratives, identity, silences, and energy. Dalam: Eurasian Geography and Economics, 55:3.  London: Routledge, hlm. 247-269

Blinnikov, Mikhail S. 2011. A Geography of Russia and Its Neighbors. London: The Guilford Press
Bradshaw, Michael dan Richard Connolly. 2016: Russia’s Natural Resources in the World Economy: history, review and reassessment. Dalam: Eurasian Geography and Economics. London: Routledge
Breuning, Marijke. 2007. Foreign Policy Analysis: A Comparative Introduction. New York: Palgrave Macmillan
Deliagin, Mikhail. 2015. Crimea: The First Step in Russia’s Return to the World. Dalam: Russian Politics & Law, 53:2. London: Routledge, hlm. 6-31
Golts, ALexander dan Michael Kofman. 2016. Russia’s Military Assessment, Strategy, and Threat [daring]. Tersedia di: http://globalinterests.org/wp-content/uploads/2016/06/Russias-Military-Center-on-Global-Interests-2016.pdf [diakses pada: 13 Januari 2017]
Grant, Thomas D. 2015. Annexation of Crimea. Dalam: The American Journal of International Law, Vol. 109, No. 1 (January 2015). Washington DC: American Society of International Law, hlm. 68-95
Hill, Christopher. 2003. The Changing Politics of Foreign Policy. New York: Palgrave Macmillan.
Kalb, Marvin. 2015. Imperial Gamble. Washington DC: Brookings Institution Press
Karagiannis, Emmanuel. 2014. The Russian Interventions in South Ossetia and Crimea Compared: Military Performance, Legitimacy and Goals. Dalam: Contemporary Security Policy, 35:3, hlm. 400-420
Kegley, Charles W dan Shannon L. Blanton. 2011.  World Politics: Trend and Transformation. Boston: Wadsworth
Klein, Margarete. 2016. Russia’s Military: On the Rise? [daring]. Tersedia di: http://www.transatlanticacademy.org/sites/default/files/publications/Klein_RussiaMilitary_Feb16_web.pdf [diakses pada: 13 Januari 2017]
Lebovic, James. 1985. Capabilities in Context: National Attributes and Foreign Policy in the Middle East. Dalam: Journal of Peace Research, 22(1). London: SAGE Publication, hlm. 47-67
Menon, Rajan dan Eugene Rumer. 2015. Introduction: Ukraine 2014. Dalam: Conflict in Ukraine. Cambridge: MIT Press, hlm. x-xix
Modelski, George. 1962. A Theory of Foreign Policy. London: Pall Mall Press
Neack, Laura. 2008. The New Foreign Policy Power Seeking in a Globalized Era. Maryland: Rowman & Littlefield Publishers, Inc.
Rutland, Peter. 2008. Russia as an Energy Superpower. Dalam:  New Political Economy, 13: 2, June 2008. London: Routledge, hlm. 203-10
Srivastava, Nitika. 2016. Russia's naval resurgence in Eurasia? Dalam: Maritime Affairs: Journal of the National Maritime Foundation of India. London: Routledge