Sejak lama Semenanjung Krimea
atau Krimea merupakan bagian dari Rusia yang kemudian pada tahun 1954 secara
resmi dipindah menjadi bagian wilayah negara Ukrania dalam pimpinan Nikita
Khrushchev yang merupakan First Secretary
dari Partai Komunis Uni Soviet (Deliagin, 2015:4). Hingga beberapa dekade
terakhir, tahun 2014 menjadi tahun yang penting bagi konstelasi perpolitikan
internasional di Eropa karena pada tahun tersebut terjadi peristiwa yang dapat
disebut ‘mengejutkan’ bagi aktor-aktor internasional khususnya di Eropa, yaitu
adanya aneksasi yang dilakukan oleh Rusia terhadap Krimea pada 18 Maret 2014
(deliagin, 2015:3). Secara singkat, aneksasi yang dilakukan oleh Rusia tersebut
diawali dengan krisis yang terjadi di Ukraina. Krisis tersebut bermula saat
presiden Ukraina saat itu yakni Viktor F. Yanukovych mundur dari
penandatanganan Association Agreement (AA)
dengan Uni Eropa pada November 2013 yang telah dinegosiasikan selama beberapa
tahun.
Terdapat dua pendapat di
dalam masyarakat Ukraina dalam memandang mundurnya Ukraina dalam
penandatanganan AA dengan Uni Eropa tersebut. Di satu sisi, AA dianggap sebagai
simbol harapan bagi masyarakat Ukraina yang bermimpi adanya integrasi dengan
Uni Eropa (yang direpresentasikan di wilayah tengah dan barat Ukraina), di sisi
lainnya mundurnya Ukraina dalam penandatangan tersebut disambut baik oleh
masyarakat Ukraina yang berkeinginan untuk menjaga hubungan dekat dengan Rusia
(yang direpresentasikan di wilayah selatan dan timur Ukraina) (Menon &
Rumer, 2015:x). Dengan adanya perbedaan pendapat di dalam masyarakat Ukraina,
sikap yang diambil oleh Presiden Yanukovych tersebut kemudian menimbulkan
demonstrasi protes atas pengambilan sikap tersebut di wilayah Kyiv pusat
sekitar alun-alun Maidan. Gerakan protes tersebut kemudian dikenal dengan
istilah Euromaidan yang menginginkan
adanya hubungan dekat antara Ukraina dengan Uni Eropa (Biersack & O’Lear,
2014:248). Sesaat setelah terjadinya protes, presiden Yanukovych mengambil
langkah yang asertif dan cenderung mengarah kekerasan dengan menurunkan polisi
anti huru hara dan penembak jitu guna meredam protes tersebut. Langkah yang
diambil pemerintah Ukraina pada saat itu malah memperbesar aksi tersebut dan
bahkan hingga bulan Februari setidaknya 100 orang meninggal. Hal ini kemudian
membuat presiden Yanukovych pada 21 Februari menjanjikan adanya reformasi di
dalam Ukraina dan penandatangan AA dengan Uni Eropa (Biersack & O’Lear,
2014:248).
Yanukovych juga
menandatangani pakta dengan pemimpin-pemimpin revousi yang dimediasi oleh
utusan Uni Eropa. Pakta tersebut mencakup pembentukan pemerintahan “persatuan
nasional” dalam 10 hari, pemangkasan kekuatan presiden, memulihkan konstitusi
2004 serta mengadakan pemilihan umum lebih awal di bawah panduan baru pada
akhir tahun nanti. Aksi tersebut disambut baik oleh pemimpin-pemimpin di Uni
Eropa dan Amerika (Menon & Rumer, 2015:x). Pemerintahan Rusia beserta dengan
media-media yang ada di Rusia kemudian memandang bahwa Ukraina telah menjadi
boneka-boneka dari Uni Eropa dan Amerika. Dengan dukungan Amerika dan Uni Eropa
di dalam revolusi yang terjadi di Ukraina, menjadikan Ukraina sebagai “medan
perang” geopolitik bagi Rusia dengan Barat (Biersack & O’Lear, 2014:248). Pemerintahan
Rusia juga menyebutkan bahwa kelompok-kelompok neo-Nazi dan sayap kanan akan melakukan
tindak kekerasan terhadap etnis Rusia dan penutur bahasa Rusia di Ukraina
karena revolusi serta beberapa peran di pemerintahan Ukraina diduduki oleh
anggota kelompok sayap kanan yang kemudian dapat mengancam Rusia (Biersack
& O’Lear, 2014:248).
Dengan kekacauan yang ada di
dalam tubuh Ukraina, pemerintahan Rusia menegaskan kepentingannya di dalam
Ukraina dengan menempatkan bala tentaranya di semananjung Krimea yang merupakan
wilayah Ukraina dengan populasi dan penutur bahasa Rusia terbanyak. Di dalam
wilayah Krimea sendiri, dengan kehadiran militer Rusia, parlemen republik
Krimea meminta otonomi yang lebih luas hingga meminta kemerdekaan dari Ukraina
(Biersack & O’Lear, 2014:251). Lebih lanjut, aksi Rusia dalam mengembangkan
upaya suksesi dan aneksasi tersebut melanggar Memorandum Budapest tahun 1994,
perjanjian yang menjamin bahwa Rusia, bersama dengan Amerika Serikat dan
Inggris, akan menghormati kemerdekaan dan kedaulatan yang berada di wilayah Ukraina
serta menahan diri untuk menggunakan ancaman atau kekerasan terhadap integritas
teritorial dan kemerdekaan politik Ukraina sebagai ganti bahwa Ukraina akan
berhenti mengembangkan senjata nuklirnya (Biersack & O’Lear, 2014:251).
Dari latar
belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, muncul pertanyaan yang menjadi
sentral dalam artikel ini, yaitu mengapa Rusia melakukan aneksasi terhadap
Krimea pada tahun 2014? Meskipun aksi tersebut melanggar Memorandum Budapest tahun
1994 yang menjamin bahwa Rusia akan menghormati kemerdekaan dan kedaulatan yang
berada di wilayah Ukraina serta menahan diri untuk menggunakan ancaman atau
kekerasan terhadap integritas teritorial dan kemerdekaan politik Ukraina. Apa yang kemudian
mendasari pengambilan kebijakan luar negeri Rusia terkait aneksasinya di
wilayah Ukraina tersebut?
Untuk menjawab pertanyaan
tersebut, penulis menggunakan beberapa konsep dan teori mengenai kebijakan luar
negeri. Sebelum membahas lebih jauh, mendefinisikan kebijakan luar negeri
dianggap langkah yang tepat untuk diambil saat ini. Kebijakan luar negeri
diartikan oleh Charles Hermann (dalam Neack, 2008:9) sebagai tindakan-tindakan
yang memiliki tujuan yang berasal dari keputusan politis di tingkat individu
maupun sekelompok individu. Hermann tidak melihat kebijakan luar negeri sebagai
sebuah keputusan melainkan sebagai a
product of decision. Deborah Gerner (dalam Neack, 2008:9) mengartikan
kebijakan luar negeri sebagai intensi, pernyataan, serta tindakan dari seorang
aktor, biasanya negara, yang diarahkan pada dunia luar dan respon aktor lain
terhadap hal tersebut. Selain itu, George Modelski (1962) mengartikan kebijakan
luar negeri sebagai “the system of
activities evolved by communities for changing the behaviour of other states
and for adjusting their own activities to the international environment”.
Penulis kemudian mengambil benang merah dari pendapat-pendapat sebelumnya bahwa
kebijakan luar negeri dapat diartikan sebagai sebuah intensi, pernyataan, dan
tindakan yang diambil oleh negara dengan tujuan tertentu baik dalam hubungannya
dengan negara atau aktor lain maupun penyesuaiannya dengan lingkungan
internasional.
Dalam memahami kebijakan luar
negeri, dikenal konsep Tingkat Analisis atau Level of Analysis (LoA). LoA dimaknai sebagai sebuah alat
heuristik, layaknya sebuah lensa kamera dalam memandang suatu kasus. Setiap
tingkat analisis memberikan masing-masing pemahaman khusus mengenai suatu kasus
yang kemudian pemahaman tersebut bisa saja memberikan pemahaman cukup bagi
kasus yang diteliti namun juga bisa saja tidak akan mempertimbangkan atau
memberikan informasi lain yang hanya dapat ditemui dengan menggunakan tingkatan
yang lain (Neack, 2008:11). Hal ini berarti jika seorang peneliti memilih untuk
menggunakan satu tingkatan dalam LoA, maka peneliti tersebut hanya akan menemui
informasi yang diberikan tingkatan itu saja tanpa mendapatkan informasi dari
tingkatan yang lain.
LoA memiliki beberapa 3
tingkatan yakni (1) individu, yang berfokus pada kepribadian, kepercayaan,
persepsi dari pemimpin dan para pembuat kebijakan; (2) negara, yang berfokus
pada faktor internal negara seperti kerangka institusinya, kelompok
kepentingan, opini publik, kondisi ekonomi, budaya dan sejarah negara tersebut;
dan (3) sistem, yang menaruh perhatian
khusus terhadap interaksi antar negara di ranah internasional yang diarahkan
oleh kapabilitas relatif negara-negara tersebut, seperti power dalam teknologi dan kekuatan militer serta kekayaan yang kemudian akan memengaruhi
kemungkinan-kemungkinan dalam bertindak dalam panggung global (Breuning, 2007:11-3).
Dalam kasus aneksasi Rusia terhadap Krimea pada tahu 2014, penulis akan
menggunakan analisis bagaimana kapabilitas atau atribut nasional yang dimiliki
oleh Rusia dapat memengaruhi pengambilan tindakan yang dipilih oleh Rusia.
Kapabilitas atau atribut
suatu negara memberikan batasan-batasan serta dorongan bagi negara dalam
melakukan kebijakan, perilaku negara dapat lebih akurat diprediksi melalui pengetahuan
tentang atribut fisik yang dimiliki negara tersebut dan yang dimiliki negara
lain yang berinteraksi dengan negara tersebut (Lebovic, 1985:47). Atribut
nasional merupakan aset-aset yang dapat diukur sebagai indikator kekuatan
potensial suatu negara. Atribut nasional ini mencakup ukuran, lokasi geografi,
kemampuan militer, kemampuan ekonomi hingga sistem pemerintahan (Kegley &
Blanton, 2011:216). Lebih jauh, ukuran dan lokasi geografi suatu negara
merupakan bagian penting dari atribut nasional suatu negara. Ukuran dan posisi
suatu negara dapat dilihat dan diukur dengan seberapa besar luas wilayah negara
tersebut dan berada di wilayah seperti apa negara tersebut. Apakah negara
tersebut berada di wilayah yang memiliki lautan atau sebagai negara yang hanya
memiliki daratan atau landlock. Selain
itu, mengetahui berbatasan dengan apa saja negara tersebut juga menjadi
perhatian khusus bagi para pengambil kebijakan. Negara dengan ukuran kecil yang
dikelilingi oleh negara-negara berukuran besar akan cenderung untuk bertindak
lebih bersahabat dengan negara tetangganya. Letak geografis juga berhubungan
dengan sumberdaya yang dimiliki oleh negara tersebut. Bagaimana sumber daya
yang dimiliki oleh suatu negara dapat memengaruhi sikap yang diambil oleh
negara tersebut di ranah internasional. Kemudian, kemampuan militer dapat
diukur dengan jumlah kepemilikan suatu negara terhadap senjata hingga sumber
daya manusia dalam militer. Kepemilikan senjata seperti rudal, tank, kapal, pesawat, dan sebagainya.
Kemampuan militer dapat memberikan batasan maupun dukungan yang lebih kepada
pemangku kebijakan dalam melakukan kebijakan luar negeri, kemampuan tersebut
dapat membentuk prioritas kebijakan luar negeri suatu negara (Kegley &
Blanton, 2011:219).
Kondisi
ekonomi dapat diukur melalui tingkat perkembangan ekonomi dan industri suatu
negara. Selain itu, kondisi ekonomi dapat diukur melalui tingkat produktivitas
dan kesejahteraan negara yang bersangkutan. Secara umum, semakin berkembangnya
negara secara ekonomi, semakin aktif pula negara tersebut dalam ekonomi politik
global (Kegley & Blanton, 2011:220). Biasanya, kondisi ekonomi diukur dengan
melihat Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita, The Human Development Index (HDI), hingga tikat literasi suatu
negara. Selain itu, atribut nasional juga mencakup sistem pemerintahan yang
dapat dilihat dari apakah negara tersebut menganut sistem demokrasi dan terbuka
atau otoriter dan tertutup. Biasanya pengambilan kebijakan di dalam negara
dengan sistem demokrasi akan memberikan pertimbangan yang lebih besar terhadap
aktor lain di dalam domestik negara tersebut seperti kelompok kepentingan
hingga opini publik. Sementara negara dengan sistem otoriter tertutup akan
cenderung untuk lebih mempertimbangkan pilihan dari lingkaran elit saja.
Atribut-atribut disebut di
atas dapat menjadi tolak ukur dalam menentukan bagaimana negara dapat disebut
sebagai negara dengan great power, middle
power, hingga small power. Dengan
penggolongan negara menjadi tiga hal yang disebut sebelumnya, penggolongan
tersebut akan memberikan negara kesempatan atau pembatasan untuk bertindak di
dalam ranah internasional. Christopher Hill (2003) menyebutkan ada beberapa
cara dalam mengartikan peran power atau
atribut-atribut tersebut dalam kebijakan luar negeri, yakni as an end in itself, as a means
to an end and as a context
within which states operate. Oleh karena itu, para pembuat
kebijakan akan melihat kekuatan yang dimiliki melalui atribut-atribut
nasionalnya, yang kemudian akan dijadikan sebagai tujuan dari kebijakan luar
negeri, maupun sebagai alat untuk mencapai tujuan tersebut. Pembuat kebijakan
sangat menaruh perhatian terhadap kemampuan negaranya dan negara sekelilingnya
serta negara-negara yang memiliki jarak yang cukup jauh namun memiliki hubungan
yang aktif dengan negara tersebut. Informasi mengenai kemampuan negara sendiri
maupun negara lainnya di dunia menjadi panduan terbaik dalam bermain di politik
internasional. Hal ini karena atribut nasional suatu negara menggambarkan
berbagai kemungkinan tindakan kebijakan luar negeri (Breuning, 2007:153).
Hipotesis yang
kemudian dapat diajukan adalah kebijakan aneksasi yang dilakukan oleh Rusia
terhadap Krimea pada tahun 2014 dikarenakan karena Rusia memiliki atribut
nasional yang menggerakkan Rusia untuk melakukan kebijakan tersebut. Kekhasan
atribut nasional yang dimiliki oleh Rusia menjadi alat untuk menggerakkan
tujuan dari kebijakan luar negeri Rusia. Selain itu, atribut nasional Rusia
juga dapat dijadikan sebagai tujuan itu sendiri maupun dijadikan sebagai
konteks dalam beroperasinya Rusia dalam ranah internasional.
Tulisan ini
dibagi menjadi beberapa bagian. Bagian pertama berisi gambaran singkat mengenai
sejarah perkembangan krisis di Ukraina yang kemudian berujung pada aneksasi
Krimea oleh Rusia yang kemudian menjadi sentral permasalahan yang diangkat pada
artikel ini. Bagian pertama ini juga berisi kerangka pemikiran yang akan
digunakan dalam analisis ini. Bagian kedua artikel berisikan mengenai kekhasan
atribut nasional yang dimiliki oleh Rusia. Bagian ketiga artikel berisikan
analisis bagaimana kekhasan atribut nasional Rusia memengaruhi Rusia dalam
mengambil kebijakan untuk menganeksasi Krimea di tahun 2014. Di bagian akhir,
tulisan ini mencoba memberikan simpulan mengenai permasalahan yang telah
diangkat.
Kekhasan Atribut Nasional yang
Dimiliki oleh Rusia
Berdasarkan
pada Charles W. Kegley dan Shannon L. Blanton (2011:216) Atribut nasional
mencakup ukuran, lokasi geografi, kemampuan militer, kemampuan ekonomi hingga
sistem pemerintahan. Atribut nasional tersebut menjadi tolak ukur dalam
menentukan atau dalam melihat kekuatan suatu negara yang kemudian dapat menjadi
bahan pertimbangan penting dalam menentukan kebijakan luar negeri suatu negara.
Jika dalam bagian pertama artikel ini telah dijelaskan secara singkat bagaimana
atribut-atribut tersebut dapat diukur, kemudian pada bagian ini penulis akan
mencoba untuk melihat atribut-atribut tersebut dalam negara Rusia. Penulis akan
berfokus pada sebagian dari atribut nasional yang dirasa menjadi kekhasan yang
dimiliki oleh Rusia saat ini yaitu ukuran, lokasi geografi, dan kemampuan
militer. Dengan
luas wilayah sebesar 17,075,200 km2, menjadikan Rusia sebagai negara
terluas di dunia. Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1, terlihat bagaimana luasnya Rusia di wilayah Eurasia, membentang
sekitar 4.500 km dari utara ke selatan dan 9.000 km dari barat ke timur
(Blinnikov, 2011:11). Wilayah Rusia merupakan 11.3% dari daratan dunia,
berbatasan dengan 14 negara tetangga yakni Norwegia, dengan panjang perbatasan
196 km; Finlandia, 1,340 km; Estonia, 294 km; Latvia, 217 km; Lithuania (berbatasan
dengan Oblast Kaliningrad), 280.5 km; Polandia (berbatasan Oblast Kaliningrad),
232 km; Belarusia, 959 km; Ukraina, 1,576 km; Georgia, 723 km; Azerbaijan, 284
km; Kazakhstan, 6,846 km; Tiongkok, 3,645 km; Mongolia, 3,485 km; dan Korea Utara, 19 km (Blinnikov, 2011:77).
Gambar 1
(Sumber: Blinnikov, 2011:3)
Selain itu, dengan terletak
di wilayah Eurasia, Rusia memiliki iklim yang cukup ekstrim. Ekstrim dalam
artian bahwa ketika Rusia mengalami musim dingin, beberapa lokasi yang ada di
Rusia memiliki temperatur suhu di bawah titik beku. Rusia memiliki rata-rata
temperatur sekitar -10 hingga -15oc selama 3-5 bulan pada musim
dingin, bahkan hingga di bawah -40oc pada bulan-bulan terdingin. Hal
ini juga serupa terjadi pada musim panas, di mana Rusia dapat mengalami suhu
udara yang cukup panas, sekitar lebih dari 350c (Blinnikov, 2011:23-7).
Akses air oleh Rusia dapat diraih melalui wilayah Utara Rusia yaitu Samudera
Arktik, meskipun samudera tersebut membeku hampir selama 6 bulan setiap tahun.
Hal ini menyebabkan Rusia harus membangun warm
water port di beberapa daerah yang airnya tidak membeku. Lebih lanjut,
wilayah Rusia juga dikenal dengan penghasil sumber energi. Rusia dianggap
sebagai negara resource-based development
dengan sektor minyak sebagai penggerak pengembangan ekonominya.
Perkembangan Rusia pasca-2000 sangat bergantung pada sumber daya alam yang
dimiliki khususnya hidrokarbon (Ahrend, 2005:584). Hal ini beralasan, karena
Rusia memiliki sumber energi hidrokarbon yang membuatnya mengandalkan sumber
tersebut untuk menggerakkan perekonomian. Dari tahun 1998-2004, Rusia
meningkatkan pemasokan minyak dunia sebesar 48 persen. Pada tahun 2007, Rusia
telah memompa hingga 9.8 juta barel minyak per hari, sekitar 12 persen dari
pemasokan global (Rutland, 2008:203).
Hingga saat ini, Rusia sangat
bergantung kepada sumber daya alam yang dimiliki untuk menggerakkan roda
pertumbuhan ekonominya. Hingga pada tahun 2015, ekspor Hidrokarbon antara 55
dan 75% dari total ekspor Rusia dalam satu tahun dan menghasilkan hingga 380 milyar
USD pada pendapatan ekspor (Brashaw & Connolly, 2016:15). Selain pada
hidrokarbon, Rusia juga menaruh perhatian pada sumber daya alam lainnya seperti
batu bara. Produksi batu bara di Rusia telah berkembang dari 122 mtoe (million tons of oil equivalent atau
setara juta ton minyak) pada tahun
2001 hingga mencapai lebih dari 165 mtoe pada tahun 2013 dengan nilai ekspor
2.7% dari total ekspor Rusia (Brashaw & Connolly, 2016:15).
Selain luas wilayah serta
lokasi geografis, penulis mencoba untuk melihat atribut nasional Rusia dengan
sisi yang lain. Salah satunya adalah kemampuan militer yang dimiliki oleh
Rusia. Sejak tahun 2012, kekuatan bersenjata telah mengalami modernisasi di
bawah Menteri Pertahan yang baru, yakni Sergey Shoygu. Meskipun keinginan untuk
mereformasi kekuatan bersenjata secara komprehensif telah hadir sejak tahun
2008. Program modernisasi yang dibawa oleh Shoygu tersebut menjanjikan untuk
menyalurkan dana sebesar 700 miliar dollar antara tahun 2011 hingga tahun 2020
guna meningkatkan semua persenjataan negara yang dimiliki seperti pembelian 2,300
tank, 600 pesawat tempur, 1,000 helikopter, 28 resimen dari sistem pertahanan udara S-400 yang
masing-masing memiliki 72 peluncur, 16 kapal selam, and 51 kapal tempur, serta
sistem peralatan lainnya (Golts & Kofman, 2016:3). Sebagai negara yang
memiliki luas wilayah yang besar, Rusia memiliki tanggung jawab lebih untuk
menjaga kedaulatan negaranya. Rusia telah membeli persenjataan alat berat mulai
dari peralatan strategis nuklir, kapal selam dan kapal laut, hingga pesawat
tempur, pesawat tempur taktis, dan sejumlah sistem peperangan darat. Tingkat
peralatan modern yang dimiliki Rusia telah meningkat dari 30 menjadi 47 persen,
dan akan mencapai 50 persen pada akhir 2016 melalui State Armament Program 2011-20 atau Program Persenjataan Negara ini
(Golts & Kofman, 2016:3). Lebih
lanjut, pada kekuatan darat, Rusia telah mengembangkan dan membeli model-model
persenjataan yang baru. Telah terjadi peningkatan pada tank dan kendaraan lapis
baja dengan peningkatan perlindungan dan mobilitas, rudal, dan sistem artileri
dengan kemampuan penargetan presisi dan peperangan elektronik melalui sistem
komunikasi yang lebih canggih (Klein, 2016:12).
Pada kekuatan udara, telah
terjadi modernisasi dalam sistem pesawat tempur dan sistem pertahanan udara.
Salah satu contohnya adalah dengan datangnya pesawat tempur baru Sukhoi Su-34 pesawat
tempur serangan dan Sukhoi Su-35 pesawat tempur multifungsi yang akan secara
bertahap mengganti pesawat-pesawat yang lama seperti Su-24, Su-27, MiG-29, dan
MiG-31 (Klein, 2016:12). moderniasi kekuatan udara Rusia ini meningkatkan
secara signifikan kemampuan militer udara Rusia dalam hal kemampuan dalam
mengunci target, manuver hingga jangkauan. Meskipun kerap memfokuskan kekuatan
militer pada daratan, State Armament
Program juga memfokuskan pada moderniasi kemampuan militer di laut.
Peningkatan militer di bidang laut ini kemudian akan meningkatkan kemampuannya
untuk pertahanan di pesisir, alat tempur pendukung, dan anti-area/ access denial operations di Laut Baltik, Laut Hitam, dan
Laut Mediterania pada khususnya (Klein, 2016:12). Selain itu, Rusia
juga berfokus pada modernisasi kekuatan nuklir yang dimiliki. The
State Armament Program
mencoba untuk melakukan pengaadan 400 rudal balistik antar benua atau intercontinental ballistic missiles
(ICBMs, SLBMs) berbasis laut dan darat serta 8 kapal selam strategis atau strategic submarines (SSBNs). Pada 2022,
diprediksikan semua ICBM bekas Soviet akan diganti dengan rudal yang baru.
Pengembangan ini berdasarkan pada fakta bahwa Presiden Putin menggambarkan
senjata nuklir sebagai “claws and teeth
of the Russian bear”( Klein, 2016:11).
Beberapa atribut nasional
Rusia yang telah disebut sebelumnya merupakan kekhasan yang dimiliki oleh Rusia
saat ini. Penulis memandang bahwa dengan luas wilayah yang sangat besar sebesar
17,075,200 km2, membentang sekitar 4.500 km dari utara ke selatan dan
9.000 km dari barat ke timur, menjadikan Rusia sebagai negara terluas di dunia.
Terletak di wilayah Eurasia, Rusia bukan tergolong ke negara landlocked, negara yang tidak berbatasan
langsung dengan laut. Hal ini karena wilayah Rusia memiliki akses dengan
Samudera Arktik. Meskipun demikian, dengan iklim yang cukup di negara tersebut,
Samudera Arktik membeku hampir selama 6 bulan setiap tahun yang memaksa Rusia
untuk membuat warm-water ports di
wilayah lain. Ditambah dengan Rusia yang masih bergantung pada energi dalam
menggerakkan roda ekonominya, wilayah geografis Rusia menjadi salah satu
kekhasan bagi atribut nasional Rusia. Selain itu, saat ini Rusia tengah
mengalami modernisasi dalam kemampuan militer yang dimiliki. Dengan program yang bernama State Armament Program 2020, Rusia
tengah melakukan reformasi kekuatan bersenjata secara komprehensif. Dengan
tujuan untuk meningkatkan kemampuan militernya, Rusia menyalurkan dana sebesar
700 miliar dollar hingga tahun 2020 pada anggaran pertahanannya. Hasil dari
program tersebut telah terlihat dengan penambahan sejumlah anggota hingga
peralatan bersenjata di wilayah darat, udara hingga laut.
Atribut
Nasional Rusia dalam Aneksasi Krimea
Penulis
kemudian melihat bahwa atribut nasional yang telah dijabarkan di bagian
sebelumnya merupakan pendorong para pengambil kebijakan di Rusia untuk
melakukan aneksasi Krimea pada tahun 2014. Pada 17 Maret 2014, presiden Rusia
Vladimir Putin menandatangani peraturan presiden On Recognation of Crimea, lalu sehari setelahnya Putin
mengindikasikan Rusia, the State Duma,
dan the Federation Council bahwa
institusi lokal Krimea telah mengajukan keinginan untuk bergabung dengan Rusia
dan di hari yang sama bersama-sama dengan institusi lokal Krimea menandatangani
kesepakatan tentang pengakuan masuknya Republik Krimea ke dalam Federasi Rusia
(Grant, 2015:68). Presiden Obama menekankan bahwa Amerika Serikat tidak akan
mengakui referendum Krimea dan memperingatkan bahwa Rusia akan mendapatkan
sanksi atas tindakannya tersebut. Sanksi tersebut berupa sanksi ekonomi terhadap
Rusia serta larangan perjalanan dan pembekuan aset pada beberapa pejabat Rusia (Kalb,
2015:162). Tindakan yang dilakukan oleh Rusia mendapatkan kecaman keras dari
beberapa aktor internasional seperti Amerika Serikat hingga Uni Eropa. Rusia
juga telah melanggar Memorandum Budapest tahun 1994 yang menjamin bahwa Rusia
akan menghormati kemerdekaan dan kedaulatan yang berada di wilayah Ukraina
serta menahan diri untuk menggunakan ancaman atau kekerasan terhadap integritas
teritorial dan kemerdekaan politik Ukraina.
Penulis melihat bahwa faktor utama yang menyebabkan
Rusia mengambil tindakan untuk menganeksasi Krimea adalah keinginan Rusia untuk
mempertahankan Pelabuhan Sevastopol di semenanjung Krimea. Pelabuhan Sevastopol
merupakan pelabuhan yang menjadi pangkalan angkatan laut Rusia di wilayah Laut
Hitam. Pelabuhan Sevastopol tersebut memiliki pabrik desalinasi air laut yang
memiliki kapasitas yang cukup untuk memasok air (Deliagin, 2015:14). Keberadaan
angkatan laut di wilayah tersebut merupakan bagian dari perjanjian 1997 antara
Ukraina dan Rusia yang memberikan izin untuk berada di wilayah Krimea hingga
tahun 2017. Meskipun begitu, perjanjian tersebut diperbaharui melalui Kharkiv
Accords untuk memperpanjang izin tersebut hingga tahun 2042 (Biersack &
O’Lear, 2014:256). Lebih lanjut, menurut Biersack dan O’Lear (2014:257) Laut Hitam
merupakan wilayah kaya akan energi, kehadiran pangkalan angkatan laut Rusia di
wilayah tersebut bukan bertujuan untuk pertahanan melainkan untuk masuk ke
wilayah kaya energi tersebut. Dengan dilakukannya aneksasi terhadap Krimea,
Rusia akan meningkatkan wilayah maritimnya dengan mendapatkan wilayah seluas
36,000 mil persegi yang mengelilingi Krimea. Kekayaan hidrokarbon yang dimiliki
oleh Laut Hitam juga berdampak signifikan, Rusia akan mendapatkan kekayaan
minyak dan gas yang terkandung di dalam Laut Hitam seperti yang terlihat pada Gambar 2.
Gambar 2
(Sumber: Biersack &
O’Lear, 2014:259).
Jika ditilik pada Gambar 2, maka dapat dilihat bahwa jika
Rusia melakukan aneksasi terhadap Krimea, maka Rusia akan mendapatkan sebagian
wilayah di Laut Hitam yang dipercaya memiliki kandungan hidrokarbon yang besar.
Selain itu, Sevastopol juga menjadi satu-satunya warm-water port Rusia di wilayah Laut Hitam (Srivastava, 2016:5). Warm-water
port merupakan
pelabuhan yang tidak membeku saat musim dingin, dibutuhkan oleh Rusia karena
Rusia membutuhkan pelabuhan untuk melakukan perdagangan, dengan wilayah
Samudera Arktik yang kerap membeku selama 6 bulan setiap tahun, warm water port dibutuhkan oleh Rusia.
Rusia hanya memiliki tiga buah warm-water
port yaitu di wilayah Pasifik (Vladivostok), Baltik (St. Petersburg) serta
Laut Hitam (Krimea).
Keinginan untuk melakukan aneksasi terhadap Krimea
kemudian dapat dipahami karena atribut nasional Rusia sebagai negara dengan
wilayah negara yang memiliki ketergantungan terhadap energi. Seperti yang
dijelaskan pada sebelumnya, ekspor Hidrokarbon yang dilakukan Rusia sebesar 55% hingga 75%
dari total ekspor Rusia dalam satu tahun dan menghasilkan hingga 380 milyar USD
pada pendapatan ekspor. Hal ini menandakan bahwa Rusia bergantung pada sumber
daya yang ia miliki atau resource-based
economy. Berdasarkan penjelasan Rudick Arhen (2005:592), negara dengan
ketergantungan yang besar terhadap energi kemudian akan mendapatkan dampak
negatif berupa terbatasnya energi yang tersedia. Dengan dampak negatif yang
ditawarkan kepada negara resource-based
economy seperti Rusia, aneksasi terhadap Krimea dengan akses yang lebih
besar ke Laut Hitam menjadi opsi yang dapat diambil untuk menjaga ketersediaan
energi Rusia. Selain itu, letak geografis Rusia didekat Samudera Arktik yang
kerap membeku selama 6 bulan dalam setahun mengharuskan Rusia untuk mengamankan
posisi geopolitiknya di wilayah Laut Hitam. Keberadaan warm-water port di wilayah Laut Hitam akan mengamankan Rusia dalam
melakukan perdagangan tanpa harus terhalang oleh iklim ekstrim yang dimiliki
oleh Rusia.
Hal lain yang perlu dijadikan perhatian adalah atribut
nasional Rusia terkait kemampuan militer yang dimiliki. Penulis melihat bahwa
kemampuan militer yang telah dimiliki Rusia saat itu menggerakkan keinginan
Rusia untuk melakukan aneksasi terhadap Krimea. Hal ini dapat dilihat dari
penggunaan kekuatan militer sebagai strategi koersi atau paksaan pada fase awal
krisis Ukraina (Bartles, 2014:46). Menurut Charles Bartles (2014:47) Rusia
telah melakukan reformasi dalam kemampuan militer dengan meningkatkan anggaran
pertahanannya dialokasikan untuk pembelian besar kendaraan, peralatan hingga
perlatihan, kali pertama sejak era Soviet. Reformasi ini kemudian dapat dilihat
pada aksi yang dilakukan Rusia dalam kasus Krimea dalam bentuk munculnya peralatan, alat komunikasi, senjata
hingga alat transportasi yang baru (Bartles, 2014:48). Rusia menempatkan para
tentaranya yang dikenal dengan sebutan little
green men di wilayah Krimea serta 40 kapal perang aktif di pangkalan
Angkatan Laut di Sevastopol. Alih-alih melakukan serangan, keberadaan kapal
perang Rusia di Krimea khususnya di daerah Sevastopol sebagai simbol pertahanan
para penutur bahasa Rusia di sana (Biersack & O’lear, 2014:257).
Rusia juga telah mengganti kapal-kapal perang yang
bersandar di Sevastopol dengan kapal-kapal yang baru. Reformasi kemampuan
militer Rusia juga dapat dilihat dari kemampuan para tentara yang berada di
wilayah Krimea. Tanpa melakukan kontak senjata, tentara Rusia berhasil
mengisolasi tentara Ukraina dari komando dan kendali dari markas besar di Kiev
dengan memotong kabel telepon, menganggu komunikasi dan melakukan cyber warfare. Kremlin melakukan upaya
operasi rahasia guna mengendalikan dan menganeksasi Krimea dengan menggunakan
pasukan khusus untuk mengambil alih unit militer Ukraina tanpa menjatuhkan satu
orang korban (Karagaiannis, 2014:413-4). Upaya-upaya ini menggambarkan
bagaimana reformasi yang berjalan di Rusia terhadap kemampuan militernya dapat
berjalan dengan baik. Selain itu, bukti lain bagaimana peningkatan kemampuan
militer Rusia menjadi dasar bagi Rusia dalam melakukan aneksasi di Krimea dapat
digambarkan oleh Alexander
Golts dan Michael Kofman (2016). Menurut Golts dan Kofman (2016:9) pengaruh
peningkatan kemampuan militer Rusia terhadap aneksasi di Krimea tergambarkan
melalui mobilitas, kesiapan dan kompetensi dari pasukan khusus yang telah
dilatih melalui program reformasi di Rusia. Selain itu, Rusia juga telah
meningkatkan kemampuan dalam teknologi perperangan seperti penggunaan pesawat
tanpa awak hingga peralatan elektronik perang. Hal ini menandakan bahwa dengan
reformasi kemampuan militer yang dilakukan oleh Rusia, aneksasi terhadap Krimea
menjadi tujuan atau tindakan yang dapat dilakukan. Margarete Klein (2016:18)
juga menyebutkan bahwa kemampuan militer Rusia memiliki peran yang siginifikan
dalam aneksasi Krimea. Hal ini ditandai dengan penambahan jumlah pasukan hingga
mencapai 90,000 buah di wilayah tersebut. Sehingga penulis melihat bahwa
kemampuan militer Rusia memiliki peran penting dalam instrumen kebijakan luar
negeri Rusia. Kemampuan militer Rusia menjadi means dalam mencapai tujuan yang diinginkan oleh Rusia, kemampuan
militer tersebut memberikan opsi kemungkinan untuk melakukan aneksasi terhadap
Krimea.
Kesimpulan
Seperti
yang diutarakan oleh James Lebovic, kapabilitas atau atribut suatu negara
memberikan batasan-batasan serta dorongan bagi negara dalam melakukan
kebijakan. Pembuat kebijakan sangat menaruh perhatian terhadap kemampuan
negaranya dan negara sekelilingnya serta negara-negara yang memiliki jarak yang
cukup jauh namun memiliki hubungan yang aktif dengan negara tersebut. Informasi mengenai
kemampuan negara sendiri maupun negara lainnya di dunia menjadi panduan terbaik
dalam bermain di politik internasional. Kasus aneksasi Krimea oleh Rusia tahun
2014 menggambarkan hal tersebut dengan baik. Aneksasi Krimea yang dilakukan
oleh Rusia digerakkan oleh atribut nasional dominan yang dimiliki Rusia, yakni
letak geografis serta kemampuan militer. Secara geografis, Rusia memerlukan
akses lebih luas ke wilayah Laut Hitam. Rusia merupakan negara dengan
ketergantungan terhadap sumber daya yang besar, ketergantungan tersebut
kemudian dapat berdampak negatif terhadap persedian sumber daya yang dimiliki
oleh Rusia. Guna memenuhi hal tersebut, Rusia harus melakukan aneksasi terhadap
Krimea karena Krimea menawarkan sumber daya yang lebih besar yang terkandung di
dalam Laut Hitam. Selain itu, letak geografis Rusia juga memaksa Rusia untuk
mengamankan warm-water port yang
dimiliki. Lebih lanjut, kemampuan militer Rusia saat itu juga memegang peran
penting dalam memberikan dorongan serta opsi untuk melakukan aneksasi terhadap
Krimea. Setelah melakukan reformasi terhadap kemampuan militernya, Rusia
kemudian mendapatkan opsi kemungkinan yang lebih besar untuk melakukan
aneksasi.
Melalui
kasus aneksasi Krimea yang dilakukan oleh Rusia pada tahun 2014. Penulis
melihat bahwa atribut nasional memberikan kemungkinan-kemungkinan serta
dorongan bagi para pembuat kebijakan untuk menjalankan kebijakan luar
negerinya. Seperti yang telah diutarakan oleh Christopher Hill (2003) yang
menyebutkan peran power atau
atribut-atribut tersebut dalam kebijakan luar negeri adalah as an end in itself, as a means
to an end and as a context
within which states operate. Meskipun begitu, penulis juga tidak
menutup kemungkinan adanya kekurangan dalam artikel ini. Penulis beranggapan
bahwa kasus ini juga dapat dijelaskan secara terperinci dengan menggunakan
tingkat yang berbeda seperti pemimpin dan identitas nasional. Penulis melihat
bahwa presiden Putin memiliki peran penting dalam menentukan kebijakan tersebut
serta adanya identitas nasional Rusia yang memiliki kedekatan historisis dengan
wilayah Krimea. Dua hal tersebut yang luput dijelaskan melalui artikel ini.
Namun demikian, penulis setuju bahwa kebijakan luar negeri suatu negara dapat
digerakkan oleh atribut nasional negara tersebut.
Daftar Pustaka
Ahrend,
Rudiger. 2005. Can Russia Break the “Resource Curse”? Dalam: Eurasian Geography and Economics, 46:8. London:
Routledge, hlm. 584-609
Bartles,
Charles. 2014. Russia’s Military Operation in Crimea Road-Testing Rapid
Reaction Capabilities. Dalam: Problems of
Post-Communism, vol. 61, no. 6, November–December 2014, hlm. 46–63
Biersack, John dan Shannon O’Lear. 2014.
The geopolitics of Russia's annexation of Crimea: narratives, identity,
silences, and energy. Dalam: Eurasian
Geography and Economics, 55:3. London:
Routledge, hlm. 247-269
Blinnikov,
Mikhail S. 2011. A Geography of Russia and Its Neighbors. London: The Guilford Press
Bradshaw,
Michael dan Richard Connolly. 2016: Russia’s Natural Resources in the World
Economy: history, review and reassessment. Dalam: Eurasian Geography and Economics. London: Routledge
Breuning,
Marijke. 2007. Foreign Policy Analysis: A
Comparative Introduction. New York: Palgrave Macmillan
Deliagin,
Mikhail. 2015. Crimea: The First Step in Russia’s Return to the World. Dalam: Russian Politics & Law, 53:2. London:
Routledge, hlm. 6-31
Golts,
ALexander dan Michael Kofman. 2016. Russia’s
Military Assessment, Strategy, and Threat [daring]. Tersedia di: http://globalinterests.org/wp-content/uploads/2016/06/Russias-Military-Center-on-Global-Interests-2016.pdf
[diakses pada: 13 Januari 2017]
Grant,
Thomas D. 2015. Annexation of Crimea. Dalam: The American Journal of International Law, Vol. 109, No. 1 (January
2015). Washington DC: American Society of International Law, hlm. 68-95
Hill,
Christopher. 2003. The Changing Politics
of Foreign Policy. New York: Palgrave Macmillan.
Kalb, Marvin. 2015. Imperial Gamble. Washington DC: Brookings
Institution Press
Karagiannis,
Emmanuel. 2014. The Russian Interventions in South Ossetia and Crimea Compared:
Military Performance, Legitimacy and Goals. Dalam: Contemporary Security Policy, 35:3, hlm. 400-420
Kegley,
Charles W dan Shannon L. Blanton. 2011. World Politics: Trend and Transformation.
Boston: Wadsworth
Klein,
Margarete. 2016. Russia’s Military: On
the Rise? [daring]. Tersedia di: http://www.transatlanticacademy.org/sites/default/files/publications/Klein_RussiaMilitary_Feb16_web.pdf
[diakses pada: 13 Januari 2017]
Lebovic,
James. 1985. Capabilities in Context: National Attributes and Foreign Policy in
the Middle East. Dalam: Journal of Peace
Research, 22(1). London: SAGE Publication, hlm. 47-67
Menon,
Rajan dan Eugene Rumer. 2015. Introduction: Ukraine 2014. Dalam: Conflict in Ukraine. Cambridge: MIT Press,
hlm. x-xix
Modelski,
George. 1962. A Theory of Foreign Policy.
London: Pall Mall Press
Neack,
Laura. 2008. The New Foreign Policy Power
Seeking in a Globalized Era. Maryland: Rowman & Littlefield Publishers,
Inc.
Rutland,
Peter. 2008. Russia as an Energy Superpower. Dalam: New Political Economy, 13: 2,
June 2008. London: Routledge, hlm. 203-10
Srivastava,
Nitika. 2016. Russia's naval resurgence in Eurasia? Dalam: Maritime Affairs: Journal of the National Maritime Foundation of India.
London: Routledge